Sunday, September 29, 2013

Di Antara Sejuta ‘Ah!’



Ini desah ke seribu,
Tapi siapa aku?
Bahkan belum mengantongi es satu.

Ini resah yang dulu-dulu.
Tapi seperti debu, yang meski tak rela,
Angin tetap kejam membawanya jauh.

Untung saja kakiku terlanjur meneduh,
Meski di bawah pohon yang seperti hendak rubuh.
Entah, apa buahnya cukup memberiku bekal,
Untuk menempa diri dalam kenikmatan intelektual.


Bagi orang bodoh sepertiku,
Ilmu memang segalanya,
Sayang, tak ada ilmu bagi orang bodoh.
Jahat sekali dunia ini, hanya membiarkan pintar orang-orang yang sudah terlanjur pintar.

Aku tak perlu menanam cemburu pada badut-badut berdasi, wangi tapi hanya bisa berhaha-hihi.
Sepertinya, cepat atau lambat mereka akan memakan bangku sekolah, secara harfiah.

Ah, setidaknya dengan kepala plontos ini, aku bebas berkeliaran kemana-mana.
Meski juga ditolak dimana-mana.

Kata ibu, ilmu ada dimana-mana,
Bukan hanya di gedung gagah tempat lahirnya orang-orang penting yang akhirnya sibuk saling piting.

Ilmu bahkan ada di jalan, di lembaran robek koran.
Jahat, bahkan di surat kabar lecek ini orang tetap menggembar-gemborkan indahnya pendidikan elite ala Sultan.
Tak pernahkah mereka tahu, bahwa Tarzan tak perlu mengenyam bangku te-ka untuk membuat jinak binatang rimba?

Aku tahu, mereka lupa itu, pasti lupa!
Yey !

Ya, ya. Tak tahu aku akan berubah pikir nantinya.
Yang jelas, malam ini aku bisa tidur tenang, sementara.

*

Ini gurat ke seribu,
Bukan di kertas yang bisu dimakan haru.
Gurat ini di hatiku.

Entah, entah siapa yang akan ku maki.
Tak ada pesakitan disini, aku sadar.

Bahkan jika aku sedikit saja mengumpat aku tak beruntung,
Tega sekali aku memaki Tuhan?

Setidaknya gedung-gedung gagah itu telah sering ku mampiri.
Hanya Tuhan yang tahu kenapa aku tak pernah boleh berlama-lama disini.

Saat sore ini, dalam sebuah angkutan tua yang tersengal melintasi jalanan keropos korban bodohnya peradaban manusia.
Aku tahu, aku harus segera mengusir rasa sesak.

Aku telah sering melanglang buana ke gedung-gedung megah itu dimana-mana.

Berbual kemana-mana aku menjadi bagian dari salah satunya.

Tidak, aku tak boleh merasa kerdil dan terbuang.

Meski aku harus sekuat tenaga menangkis hantaman tatapan para hakim abadi,
Yang melontar serapah lewat mata nyinyir dan melabeliku dengan cat ungu, di dahi.


Suatu senja di ujung Jawa.

Notes : Nominator 10  Puisi Terbaik Lomba Puisi ASBO PP IPM 2013

No comments:

Post a Comment