Friday, July 7, 2017

“Prison, Book, and I”


“That’s all the freedom we can hope for – the freedom to choose our prison. – L.M. Montgomery

Kurang dari seminggu lagi hari Raya Idul Fitri 1438 H menjelang. Wajah para remaja tangguh itu diliputi kebingungan. Bukan hal yang terlalu serius sebenarnya jika dibandingkan pengalaman mereka tahun kemarin yang benar-benar dilanda krisis menguji jiwa relawan muda mereka, namun hal yang sedang mereka hadapi kali ini tak bisa dipecahkan begitu saja. Dalam lingkar rapat di atas ubin dingin sebuah aula gedung yang telah banyak menyokong kegiatan mereka itu, mereka termenung memikirkan jalan keluar dari permasalahan pelik mengingat hal tersebut adalah tantangan yang melibatkan tidak sedikit orang.

Sebelumnya mari kita mundur ke persis satu tahun lalu, saat belasan pelajar SMP dan SMA yang direkrut oleh sebuah komunitas literasi -yang tentunya sering bersentuhan dengan permasalahan sosial, itu baru saja selesai ditraining selama beberapa hari untuk sebuah program. Program yang mungkin agak jarang diiukuti oleh remaja seusia mereka. Mereka hendak diterjunkan ke kampung pelosok untuk mengabdi selama seminggu, menyebar semangat mebaca, dan belajar bersama. Hal tersebut terdengar mudah saja jika jaraknya dekat, tetapi ini ada di ujung pulau di tepi Samudera Hindia. Dengan medan tempuh yang sulit dijangkau karena kondisi jalan yang rusak parah –yeah,  tak perlu sulit membayangkan trayek yang dimaksud karena sering masuk acara TV khusus program ‘orang-orang terbelakang’, dan tanpa diberi honor bahkan uang transport sedikitpun. Malahan mereka diawal harus membayar biaya untuk konsumsi pelatihan dan sudah diwanti-wanti jika selama proses pengabdian, mereka harus rela untuk iuran jika ada hal-hal di luar perkiraan.