Aku
keluar dari mushalla SPBU dengan lega, kalau udah shalat emang rasanya plong,
apalagi kalau mau bepergian, khawatir kenapa-napa kalo belum shalat mah, he.
OK,
aku cek! Jas almamater dah dipake, masker dari slayer udah, kacamata, sarung tangan?
Sip dah, tinggal ngisi bensin, terus melanjutkan perjalanan secepat mungkin,
panas begini beresiko numbuhin koloni jerawat baru kalo kelamaan di jalanan
dengan debu-debu jalanan mah, halah.
Meski
hari ini panasnya amit-amitan dan kondisi lalu lintas seperti biasa selalu
terhambat oleh perbaikan jalan di beberapa bagian, tapi karena udah kadung nia,t
perjalanan ‘menyiksa’ itu tak terasa. Saat melewati beberapa daerah yang
jalannya diperbaiki yang ada POLANTAS-nya, baru nyadar kalau gak pake helm! Alamak…
Bingung.
Balik lagi dah jauh, diterusin, ragu. Akhirnya aku milih nerusin perjalanan
dengan kembali mengucap basmallah. Setelah beberapa lama, ada POLANTAS lagi,
ragu lagi. Karena merasa perlu bepikir terlebih dahulu akhirnya menepi di depan
sebuah minimarket di dekat RSUD Berkah Pandeglang dan sejenak memutuskan untuk
bertemu disini saja dengan teman yang akan meminjam buku untuk tugas sekolahnya
itu. Ya, alasan perjalanan ini adalah untuk itu.
Tapi
SMSnya lama tak dibalas. Dan ketika melihat beberapa pengendara motor lain
dengan santainya melenggang tidak memakai helm muncul kembali keberanian untuk
melanjutkan perjalanan tanpa helm yang menemani. :P
Tiba-tiba
terasa HP bergetar, aku menepi sebentar, dari temanku itu, bertanya jadi
bertemu dimana, aku jawab tak usah, aku mau langsung ke sekolahnya. Setelah
lampu merah ini tak akan jauh jarak ke sekolahnya, tanggung.
Tapi
kawan, prinsip tanggung jangan pernah dipake deh dalam kamus lalu lintas
berkendara. Pasalnya, persis ketika hendak belok ke gang tempat sekolah yang
dimaksud berada, seorang yang berpakaian seperti Polisi, dodol, emang Polisi
rupanya melambaikan tangannya dan menyuruh menepi. Kirain mau ngajak ngobrol,
ternyata emang ngajak ngobrol tapi obrolannya bikin nyesek.
“Kamu
mahasiswa mana, mau kemana?” Entah karena aku langsung pake jurus pasang muka
ramah (sedikit pucat, he) pak polisi bertanya dengan nada sedikit bersahabat.
Aku
jawab polos dan dengan tampang innocent seolah
tidak sedang membuat pelanggaran apa-apa.
“Koq
gak pake helm?” Tadinya aku mau pura-pura baru ngeh kalo gak pake helm,
misalnya dengan jawab “Omigosh! Koq baru inget ya? Makasih ya pak udah
ngingetin” Lalu kabur dengan alasan mau nyari helm. Atau tiba-tiba punya
kemampuan sulap, dengan hanya bilang “taraaaaa…!” tiba-tiba helm udah nangkring
di kepalaku.
“Lupa
pak, tadi buru-buru dari kampus, dan ini buru-buru mau pulang lagi, cuman mau
nganterin buku ke adek saya” Akhirnya itulah jawaban yang keluar, jujur tapi
dimodifikasi sedikit, dengan ngaku-ngaku adeknya orang, hehe.
Tanpa
banyak ba-bi-bu si polisi yang alhamdulillahnya tetap terlihat bersahabat
mengunci stang motorku, di pinggir jalan yang gak rata, sehingga saat motor
kustandarkan tak bisa kulepas, miring, mau jatoh. Dan kunci motornya diambil.
Hmm, sayang memang tindakannya tak sebersahabat ucapannya.
“Yaudah
panggil aja adek kamu kesini” lanjutnya kemudian.
Aku
lalu menelepon temanku itu, dan sambil menunggu temanku itu datang, polisi itu
mulai kepo, he, tanya-tanya kenapa begini kenapa begitu lalu akhirnya meminta
STNK. STNK itu kemudian diambilnya, ditukar dengan kunci motorku, lalu
menyuruhku mengurus masalah ini di kantor POLSEK yang persis berada
disampingku.
Bodoh!
Pantesan aja POLANTAS yang ini nilang, di depan kandangnya rupanya.
Saat
temanku itu datang, aku sengaja menunjukkan kalo aku memang bertujuan untuk memberikan
buku dengan terburu-buru untuk tugas sekolah ‘adekku’ itu dengan agak dramatis,
berharap si polisi berubah pikiran dan mengembalikan STNK-ku. Nihil, si polisi
tak peduli. Akhirnya aku meminta temanku untuk mencarikan helm agar urusan ini
bisa segera diselesaikan. Sambil menungggu aku ngobrol dengan beberapa tukang
ojek yang rupanya sudah biasa menyaksikan kejadian seperti itu akhir-kahir ini
di tempat itu. Menurutnya sekarang disitu lagi musim tilang, semua kena,
termasuk dirinya. Ucapannya terbukti karena beberspa saat kemudian beberapa
pengendara lain juga mengalami nasib yang sama sepertiku. Sedikit keringanan
untuk anak sekolah, sebelum ditilang diberi kesempatan untuk mencari helm dulu
baru dibolehkan lewat. Bahkan seorang pengendara yang membawa barang-barang
dagangan di motornya (teman si tukang ojek) sempat tak percaya kalau bakal kena
tilang padahal sudah diperingatkan, tapi langsung ngibrit ketika si polisi mau
mendekat.
Setelah
mendapat helm, aku masuk kantor POLSEK, sempat bingung mau menghadap siapa, karena
urusan ini dioverhandle ke polisi
lain. Akhirnya seorang polisi memanggilku ke sebuah ruangan beserta dua orang
pengendara lain yang sama tak menyangkanya denganku kalu mau kena tilang, karena
daerah sekitar situ biasanya takada tilang-tilangan.
Entah
kenapa, aku malah menikmati proses interogasi yang terjadi. Aku sengaja memilih
belakangan, mempelajari situasi dulu, melihat kepanikan para ‘korban’ lain, dan
saat tiba giliranku, aku langsung dikuliahi bahwa sebagai mahasiswa seharusnya
aku memberikan contoh untuk masyarakat, dan lain sebagainya. Aku cuma
menanggapinya dengan bilang ‘iya, pak’ sambil senyum dan ngangguk-ngangguk.
“Kamu
saya tilang aja ya?” pertanyaan yang bikin aku bingung, karena kalo aku bilang
jangan pak saya gak mau, gak mungkin kan aku dibebaskan begitu saja?
“Jangan
pak” akhirnya jawaban bodoh itu keluar juga.
“Kalau
begitu kamu mau disidangkan” lanjut si polisi yang agak gemuk, berkumis tapi
ahamdulillahnya lagi bertampang ramah. Tidak semua polisi menyeramkan ternyata.
Aku baru membaca beberapa waktu yang kemarin bahwa kalau ditilang kita harus
meminta surat berwarna biru dan membayar uang denda melalui ATM yang nantinya
akan masuk ke kas Negara, kalau enggak karena menolak atau malah gak tahu, atau
memilih sidang, akan diberi surat merah, padahal surat merah itu adalah bukti
kalo kita tidak mau diajak kerjasama atau menolak ditilang makanya disidangkan
dan ujung-ujungnya didenda juga.
“Disidangkan
saja, kamu kan mahasiswa, lumayan buat pengalaman” Si polisi yang menilangku
tadi tahu-tahu sudah di ruangan itu, nimbrung.
“Wah,
jangan pak, sudah biasa sidang-sidanganmah, saya kan ikut organisasi” entah apa
yang ada dipikiranku, semua jawaban yang kulontarkan gak bernada seperti sedang
dinterogasi, tapi seperti lagi ngobrol santai, dalam hati aku bersyukur karena
itu menajdikan 2 orang polisi itu juga bersikap santai kepadaku. Meskipun
membuat 2 orang korban yang lain tadi terbengong-bengong, mereka terlalu tegang
dan polisi malah terlihat lebih galak kalau kita seperti itu.
“SIM
kamu mana?” Si polisi yang mengintergoasi di awal tadi kembali bertanya
Aku
cuma jawab ‘hehe”.
“KTP?”
Aku
mengeluarkan KTP dan sempat risih karena beberapa kartu ATM yang lebih buat menuhin
dompet itu berhamburan. Hadegh, entar dikiranya gw banyak duit lagi, aku
membatin.
“Begini,
kamu kan melanggar 2 pasal, gak pake helm dan gak punya SIM. Kamu mau diproses
disini apa di pengadilan?”
Pertama,
biassnya kalau bawa STNK denda yang dikeluarkan saat itu juga tidak akan jauh
beda dengan yang nanti diputuskan di pengadilan, tapi ribetnya STNK kalau
ditahan sementara jadi gak bisa pergi-peri jauh, jadi kuputuskan untuk diselesaikan
sekarang. Kedua, setelah tahu denda gak bawa SIM aja udah gede apalagi gak
punya SIM, jadi lupakan idealisme harus minta surat biru dan bayar denda sendiri
ke ATM segala, mending bayar cash
disini meskipun entah nanti uangnya diapakan.
“Satu
pasal aja ya pak” Aku mulai merayu. Berani merayu dengan santai seperti itu
karena ditengah interogasi si polisi mengajakku ngobrol setelah tahu aku kuliah
di almamaternya dulu.
“Saya
juga lulusan sana, tahun 2007”
“Oh,
bapak pasti lulusan Hukum”
“Ya.
Ini lurahnya sekarang siapa?” jawabanya kemudian setelah membaca alamatku di
KTP.
“Masih
yang sama pak, beliau kan menjabat dua periode”.
“Oh,
iya saya kenal sama beliau, saya kan dulu KKN nya disana”
“Oh
begitu ya pak, memang bapak asli mana?”
Sepertinya
si polisi mulai sadar kalau ini malah kaya lagi ngobrol di warung kopi bukan
sedang interogasi, meskipun melihat raut mukanya dia sepertinya tak
berkeberatan melanjukan obrolan. Tapi demi melihat dua tampang dua orang korban
yang lain tadi itu pak polisi tadi urung menjawab.
Setelah
urusan beres dan aku akhirnya hanya dikenakan satu pasal, aku melenggang agak
berat, bukan karena telah mengeluarkan uang, tapi karena masih betah di kantor
polisi ini. Ini pengalaman pertamaku ditilang, dan ini seru, kaya lagi jalan-jalan
ke museum dan tanya-tanya sama guide
disana walaupun harus bayar.
Di
dekat pintu keluar si polisi yang tadi menilang menghampiri dan kembali
menguliahiku.
Aku
sekali lagi cuma mengiyakan, mengangguk dan tersenyum, dan ketika kutanya
namanya, dia bingung.
“Gak
pak, saya kan seneng nulis, pengalaman ini mau saya tulis di blog”
Entah
karena alasan apa, dia tetap gak mau jawab namanya malah tersenyum menjawab,
“Kamu
sering-sering aja main kesini kalau mau tahu”
Maksudnya?
Aku sering-sering ditilang atau gimana?
Akupun
pamit dan dijawabnya dengan rumah dan ucapan terimakasih. Sumpah, gak kaya abis
keluar dari kantor polisi dengan kasus pelanggaran. Makanya ketika ketemu
temanku lagi dia sedikit bingung aku ketawa-ketawa, termasuk orang-orang yang
memperhatikanku tadi ditilang.
Setelah
pamit sama tukang ojeg yang tadi berbagi tips gratis kalau ditilang, aku diantar
temanku itu ke ‘zona aman’ dengan memakai helmnya, setelah itu kubalikin lagi
helmnya, sambil tak henti-henti berpikir tentang kejadian tadi.
Perjalanan
pulang kujalani dengan santai sambil mendengarkan musik. Berpikir kalau berpikir
positif segala hal bisa diselesaikan dengan baik. Rupanya ujian tentang positif thinking itu terjadi lagi.
Seorang pengendara motor di belakangku nyeletuk kalau ban motoru kempis. Aku
hanya menghela nafas dan bilang terimaksih. Setelah menepi, mengecek, dan memang
benar kempis, aku masih santai menjalankan motor yang masih bisa dikendarai sambil
mencari bengkel. Dan baru inget kalau di kantongku tadi, uangku tinggal seribu,
setelah bayar denda tadi, padahal paginya beli diktat kuliah dan buku padahal
tanggal sedang tidak bersahabat.
Aku
menepis kekhawatiran kalau banku bocor bukan hanya kurang angkin. Gawat kalau
itu terjadi, mau dibayar pake apa coba?
Maka
ketika ketemu bengkel, dengan PD-nya langsung minta motorku diisi angin dan bersyukur
sekali ternyata memang hanya kurang angin, dan uang seribu yang lecek itu juga
meninggalkan dompetku.
Aku
kembali takjub dengan kekuatan positif
thinking, walau dalam hati terus berdoa semoga tidak terjadi masalah lagi
karena seribu terakhirku sudah lenyap.
Tapi
akhirnya kusadari, bahwa kita tak perlu takut terhadap masalah dan ingin diringankan
beban maslah kita, cukup berdoa untuk dikuatkan dalam menghadapi masalah
tersebut. Mudah-mudahan hal itu selalu bisa kuyakini.
Sekian
lah, postingan kali ini, semoga ada manfaatnya bagi yang baca, kalaupun takada,
silahkan kamu buat cerita sendiri dan posting sendiri. J
See U.
Image by : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkwixHM9Wx8eQxm_GqIKP3-I97JegtryAsglYbnatT2Q1_1qCLU6Wrz3ovIu9wSNiygpoVbLdCh3_JYmZU2qLZ3RgcaIi0a2rxY4n3GjPZmOa8XqAF9AZXBWBrEzKtPbP-nm9Wb4dG4Mk/s400/uang+seribu+lecek+2.jpg
No comments:
Post a Comment