Wednesday, October 16, 2013

1000 Terakhir



                Aku keluar dari mushalla SPBU dengan lega, kalau udah shalat emang rasanya plong, apalagi kalau mau bepergian, khawatir kenapa-napa kalo belum shalat mah, he.
                OK, aku cek! Jas almamater dah dipake, masker dari slayer udah, kacamata, sarung tangan? Sip dah, tinggal ngisi bensin, terus melanjutkan perjalanan secepat mungkin, panas begini beresiko numbuhin koloni jerawat baru kalo kelamaan di jalanan dengan debu-debu jalanan mah, halah.
                Meski hari ini panasnya amit-amitan dan kondisi lalu lintas seperti biasa selalu terhambat oleh perbaikan jalan di beberapa bagian, tapi karena udah kadung nia,t perjalanan ‘menyiksa’ itu tak terasa. Saat melewati beberapa daerah yang jalannya diperbaiki yang ada POLANTAS-nya, baru nyadar kalau gak pake helm! Alamak…

                Bingung. Balik lagi dah jauh, diterusin, ragu. Akhirnya aku milih nerusin perjalanan dengan kembali mengucap basmallah. Setelah beberapa lama, ada POLANTAS lagi, ragu lagi. Karena merasa perlu bepikir terlebih dahulu akhirnya menepi di depan sebuah minimarket di dekat RSUD Berkah Pandeglang dan sejenak memutuskan untuk bertemu disini saja dengan teman yang akan meminjam buku untuk tugas sekolahnya itu. Ya, alasan perjalanan ini adalah untuk itu.
                Tapi SMSnya lama tak dibalas. Dan ketika melihat beberapa pengendara motor lain dengan santainya melenggang tidak memakai helm muncul kembali keberanian untuk melanjutkan perjalanan tanpa helm yang menemani. :P
                Tiba-tiba terasa HP bergetar, aku menepi sebentar, dari temanku itu, bertanya jadi bertemu dimana, aku jawab tak usah, aku mau langsung ke sekolahnya. Setelah lampu merah ini tak akan jauh jarak ke sekolahnya, tanggung.
                Tapi kawan, prinsip tanggung jangan pernah dipake deh dalam kamus lalu lintas berkendara. Pasalnya, persis ketika hendak belok ke gang tempat sekolah yang dimaksud berada, seorang yang berpakaian seperti Polisi, dodol, emang Polisi rupanya melambaikan tangannya dan menyuruh menepi. Kirain mau ngajak ngobrol, ternyata emang ngajak ngobrol tapi obrolannya bikin nyesek.
                “Kamu mahasiswa mana, mau kemana?” Entah karena aku langsung pake jurus pasang muka ramah (sedikit pucat, he) pak polisi bertanya dengan nada sedikit bersahabat.
                Aku jawab polos dan dengan tampang innocent seolah tidak sedang membuat pelanggaran apa-apa.
                “Koq gak pake helm?” Tadinya aku mau pura-pura baru ngeh kalo gak pake helm, misalnya dengan jawab “Omigosh! Koq baru inget ya? Makasih ya pak udah ngingetin” Lalu kabur dengan alasan mau nyari helm. Atau tiba-tiba punya kemampuan sulap, dengan hanya bilang “taraaaaa…!” tiba-tiba helm udah nangkring di kepalaku.
                “Lupa pak, tadi buru-buru dari kampus, dan ini buru-buru mau pulang lagi, cuman mau nganterin buku ke adek saya” Akhirnya itulah jawaban yang keluar, jujur tapi dimodifikasi sedikit, dengan ngaku-ngaku adeknya orang, hehe.
                Tanpa banyak ba-bi-bu si polisi yang alhamdulillahnya tetap terlihat bersahabat mengunci stang motorku, di pinggir jalan yang gak rata, sehingga saat motor kustandarkan tak bisa kulepas, miring, mau jatoh. Dan kunci motornya diambil. Hmm, sayang memang tindakannya tak sebersahabat ucapannya.
                “Yaudah panggil aja adek kamu kesini” lanjutnya kemudian.
                Aku lalu menelepon temanku itu, dan sambil menunggu temanku itu datang, polisi itu mulai kepo, he, tanya-tanya kenapa begini kenapa begitu lalu akhirnya meminta STNK. STNK itu kemudian diambilnya, ditukar dengan kunci motorku, lalu menyuruhku mengurus masalah ini di kantor POLSEK yang persis berada disampingku.
                Bodoh! Pantesan aja POLANTAS yang ini nilang, di depan kandangnya rupanya.
                Saat temanku itu datang, aku sengaja menunjukkan kalo aku memang bertujuan untuk memberikan buku dengan terburu-buru untuk tugas sekolah ‘adekku’ itu dengan agak dramatis, berharap si polisi berubah pikiran dan mengembalikan STNK-ku. Nihil, si polisi tak peduli. Akhirnya aku meminta temanku untuk mencarikan helm agar urusan ini bisa segera diselesaikan. Sambil menungggu aku ngobrol dengan beberapa tukang ojek yang rupanya sudah biasa menyaksikan kejadian seperti itu akhir-kahir ini di tempat itu. Menurutnya sekarang disitu lagi musim tilang, semua kena, termasuk dirinya. Ucapannya terbukti karena beberspa saat kemudian beberapa pengendara lain juga mengalami nasib yang sama sepertiku. Sedikit keringanan untuk anak sekolah, sebelum ditilang diberi kesempatan untuk mencari helm dulu baru dibolehkan lewat. Bahkan seorang pengendara yang membawa barang-barang dagangan di motornya (teman si tukang ojek) sempat tak percaya kalau bakal kena tilang padahal sudah diperingatkan, tapi langsung ngibrit ketika si polisi mau mendekat.
                Setelah mendapat helm, aku masuk kantor POLSEK, sempat bingung mau menghadap siapa, karena urusan ini dioverhandle ke polisi lain. Akhirnya seorang polisi memanggilku ke sebuah ruangan beserta dua orang pengendara lain yang sama tak menyangkanya denganku kalu mau kena tilang, karena daerah sekitar situ biasanya takada tilang-tilangan.
                Entah kenapa, aku malah menikmati proses interogasi yang terjadi. Aku sengaja memilih belakangan, mempelajari situasi dulu, melihat kepanikan para ‘korban’ lain, dan saat tiba giliranku, aku langsung dikuliahi bahwa sebagai mahasiswa seharusnya aku memberikan contoh untuk masyarakat, dan lain sebagainya. Aku cuma menanggapinya dengan bilang ‘iya, pak’ sambil senyum dan ngangguk-ngangguk.
                “Kamu saya tilang aja ya?” pertanyaan yang bikin aku bingung, karena kalo aku bilang jangan pak saya gak mau, gak mungkin kan aku dibebaskan begitu saja?
                “Jangan pak” akhirnya jawaban bodoh itu keluar juga.
                “Kalau begitu kamu mau disidangkan” lanjut si polisi yang agak gemuk, berkumis tapi ahamdulillahnya lagi bertampang ramah. Tidak semua polisi menyeramkan ternyata. Aku baru membaca beberapa waktu yang kemarin bahwa kalau ditilang kita harus meminta surat berwarna biru dan membayar uang denda melalui ATM yang nantinya akan masuk ke kas Negara, kalau enggak karena menolak atau malah gak tahu, atau memilih sidang, akan diberi surat merah, padahal surat merah itu adalah bukti kalo kita tidak mau diajak kerjasama atau menolak ditilang makanya disidangkan dan ujung-ujungnya didenda juga.
                “Disidangkan saja, kamu kan mahasiswa, lumayan buat pengalaman” Si polisi yang menilangku tadi tahu-tahu sudah di ruangan itu, nimbrung.
                “Wah, jangan pak, sudah biasa sidang-sidanganmah, saya kan ikut organisasi” entah apa yang ada dipikiranku, semua jawaban yang kulontarkan gak bernada seperti sedang dinterogasi, tapi seperti lagi ngobrol santai, dalam hati aku bersyukur karena itu menajdikan 2 orang polisi itu juga bersikap santai kepadaku. Meskipun membuat 2 orang korban yang lain tadi terbengong-bengong, mereka terlalu tegang dan polisi malah terlihat lebih galak kalau kita seperti itu.
                “SIM kamu mana?” Si polisi yang mengintergoasi di awal tadi kembali bertanya
                Aku cuma jawab ‘hehe”.
                “KTP?”
                Aku mengeluarkan KTP dan sempat risih karena beberapa kartu ATM yang lebih buat menuhin dompet itu berhamburan. Hadegh, entar dikiranya gw banyak duit lagi, aku membatin.
                “Begini, kamu kan melanggar 2 pasal, gak pake helm dan gak punya SIM. Kamu mau diproses disini apa di pengadilan?”
                Pertama, biassnya kalau bawa STNK denda yang dikeluarkan saat itu juga tidak akan jauh beda dengan yang nanti diputuskan di pengadilan, tapi ribetnya STNK kalau ditahan sementara jadi gak bisa pergi-peri jauh, jadi kuputuskan untuk diselesaikan sekarang. Kedua, setelah tahu denda gak bawa SIM aja udah gede apalagi gak punya SIM, jadi lupakan idealisme harus minta surat biru dan bayar denda sendiri ke ATM segala, mending bayar cash disini meskipun entah nanti uangnya diapakan.
                “Satu pasal aja ya pak” Aku mulai merayu. Berani merayu dengan santai seperti itu karena ditengah interogasi si polisi mengajakku ngobrol setelah tahu aku kuliah di almamaternya dulu.
                “Saya juga lulusan sana, tahun 2007”
                “Oh, bapak pasti lulusan Hukum”
                “Ya. Ini lurahnya sekarang siapa?” jawabanya kemudian setelah membaca alamatku di KTP.
                “Masih yang sama pak, beliau kan menjabat dua periode”.
                “Oh, iya saya kenal sama beliau, saya kan dulu KKN nya disana”
                “Oh begitu ya pak, memang bapak asli mana?”
                Sepertinya si polisi mulai sadar kalau ini malah kaya lagi ngobrol di warung kopi bukan sedang interogasi, meskipun melihat raut mukanya dia sepertinya tak berkeberatan melanjukan obrolan. Tapi demi melihat dua tampang dua orang korban yang lain tadi itu pak polisi tadi urung menjawab.
                Setelah urusan beres dan aku akhirnya hanya dikenakan satu pasal, aku melenggang agak berat, bukan karena telah mengeluarkan uang, tapi karena masih betah di kantor polisi ini. Ini pengalaman pertamaku ditilang, dan ini seru, kaya lagi jalan-jalan ke museum dan tanya-tanya sama guide disana walaupun harus bayar.
                Di dekat pintu keluar si polisi yang tadi menilang menghampiri dan kembali menguliahiku.
                Aku sekali lagi cuma mengiyakan, mengangguk dan tersenyum, dan ketika kutanya namanya, dia bingung.
                “Gak pak, saya kan seneng nulis, pengalaman ini mau saya tulis di blog”
                Entah karena alasan apa, dia tetap gak mau jawab namanya malah tersenyum menjawab,
                “Kamu sering-sering aja main kesini kalau mau tahu”
                Maksudnya? Aku sering-sering ditilang atau gimana?
                Akupun pamit dan dijawabnya dengan rumah dan ucapan terimakasih. Sumpah, gak kaya abis keluar dari kantor polisi dengan kasus pelanggaran. Makanya ketika ketemu temanku lagi dia sedikit bingung aku ketawa-ketawa, termasuk orang-orang yang memperhatikanku tadi ditilang.
                Setelah pamit sama tukang ojeg yang tadi berbagi tips gratis kalau ditilang, aku diantar temanku itu ke ‘zona aman’ dengan memakai helmnya, setelah itu kubalikin lagi helmnya, sambil tak henti-henti berpikir tentang kejadian tadi.
                Perjalanan pulang kujalani dengan santai sambil mendengarkan musik. Berpikir kalau berpikir positif segala hal bisa diselesaikan dengan baik. Rupanya ujian tentang positif thinking itu terjadi lagi. Seorang pengendara motor di belakangku nyeletuk kalau ban motoru kempis. Aku hanya menghela nafas dan bilang terimaksih. Setelah menepi, mengecek, dan memang benar kempis, aku masih santai menjalankan motor yang masih bisa dikendarai sambil mencari bengkel. Dan baru inget kalau di kantongku tadi, uangku tinggal seribu, setelah bayar denda tadi, padahal paginya beli diktat kuliah dan buku padahal tanggal sedang tidak bersahabat.
                Aku menepis kekhawatiran kalau banku bocor bukan hanya kurang angkin. Gawat kalau itu terjadi, mau dibayar pake apa coba?
                Maka ketika ketemu bengkel, dengan PD-nya langsung minta motorku diisi angin dan bersyukur sekali ternyata memang hanya kurang angin, dan uang seribu yang lecek itu juga meninggalkan dompetku.
                Aku kembali takjub dengan kekuatan positif thinking, walau dalam hati terus berdoa semoga tidak terjadi masalah lagi karena seribu terakhirku sudah lenyap.
                Tapi akhirnya kusadari, bahwa kita tak perlu takut terhadap masalah dan ingin diringankan beban maslah kita, cukup berdoa untuk dikuatkan dalam menghadapi masalah tersebut. Mudah-mudahan hal itu selalu bisa kuyakini.
                Sekian lah, postingan kali ini, semoga ada manfaatnya bagi yang baca, kalaupun takada, silahkan kamu buat cerita sendiri dan posting sendiri. J
See U.

Image by : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkwixHM9Wx8eQxm_GqIKP3-I97JegtryAsglYbnatT2Q1_1qCLU6Wrz3ovIu9wSNiygpoVbLdCh3_JYmZU2qLZ3RgcaIi0a2rxY4n3GjPZmOa8XqAF9AZXBWBrEzKtPbP-nm9Wb4dG4Mk/s400/uang+seribu+lecek+2.jpg

No comments:

Post a Comment