Negeriku
ini isinya hanya orang-orang bodoh. Alih-alih mencari tahu cara menggunakan
kesempatan, malah sibuk mencari hiburan. Sepotong haha saja bisa membuat lupa
dirinya sedang dimana. Dan ketika hiburan semakin garing, mencari domba lain
untuk diadu atau bahkan dengan suka rela mengajukan diri sebagai rival. Pikun
sudah dirinya hendak kemana.
Kalau begini, entah lebih baik
berpihak kemana. Kepada aktivis yang rabun dan bermental tipis, atau kaum
proletar yang bahkan tak mengerti apa definisi pintar. Di sini akal benar-benar
seperti dimuseumkan, dan nurani tergantung pada siapa yang memuhasabahi.
“Kamu sedang apa?”
“Hah?”
“Dari tadi kamu saya panggil diam
terus, ngelamun kamu ya?”
“Hah-heh, hah-heh. Lama-lama kamu
kaya engkong saya nanti. Linglung! Hahahahaha.”
Aku tak terlalu berselera menanggapi
atau bahkan ikut tertawa bersama seseorang yang mengaku berasal dari dunia
nyata itu. Selain jengah narasi nalarku diinterupsi tanpa aba-aba, aku rasa aku
tadi menangkap suara lain di kejauhan. Itulah alasan untuk ‘hah’ pertamaku.
Seperti memanggilku.
“Effendi ! Kamu itu kenapa sih? Niat
gak sih jalan-jalan? Sebentar lagi kita nyampe Monas, sudah keliatan tuh
pagarnya. Bang, bang, kiri bang.” Heboh Adam menarik tanganku dari bajaj,
membayar ongkos, merabai keningku, dan geleng-geleng, lalu tak berapa lama dia
mengangguk-angguk begitu menengadahkan wajah pada tugu yang sedang dikerubuti
manusia-manusia pencari keramaian itu.
Lalu mau kemana aku? Ketika benar
tergantung pada siapa yang dengar. Hingga koar-koar hanya akan menamparku
dengan kesadaran hanya membuat hingar-bingar.
“Kita ke museumnya dulu yuk!”
Dan manusia kadang terlalu banyak
bicara, lupa untuk sejenak berpikir bahwa…
“Atau langsung ke puncaknya dulu?”
Bahwa..
“Eh, eh, kayanya lucu tuh kalau naik
kereta kelinci itu. Hahahahaha”
“Kamu bisa diam dulu gak sih?!”
“Maksudmu? Jadi kita mau jauh-jauh
kesini cuman untuk bengong dan…”
“Eh, eh bukan gitu maksudku Dam. Aku
cuma…”
“Ya, cuma! Jadi kamu kesini cuma
untuk bengong kaya orang gila dan aku cuma harus bertugas memperhatikan wajah
seram ngelamunmu itu?”
“Maksudku, bukan kamu, bukan kamu
yang aku suruh diam”
“Lha, terus?”
Dan
ekspressi bingung Adam kembali mengingatkanku kepada suara tadi. Kini semakin
jelas, seperti memanggilku. Membisikku sesuatu, entah apa.
Apalagi, apalagi yang harus aku
dengar ketika suara yang mendominasi dunia nyata hanyalah lagu penenang jiwa.
Yang jika berhenti sedetik, kekacauan terjadi membabi buta.
***
Aku sudah pasrah, apapun hasilnya.
Bukannya sudah kusepakati dengan hati bahwa ini konspirasi dunia untuk
memformalkan basa-basi. Jika aku tak berhasil, berarti aku tak mencukupi kadar
basa-basi yang mereka inginkan. Tapi garisbawahi itu, kata basa-basi. Mengapa
aku harus memedulikan itu jika ada banyak hal penting yang harus kukejar.
Aku mengejang! Tubuh ini kadang
sering berkhianat dengan akal sehat. Kesepakatan itu percuma, karena tak ayal
aku merasa separuh bahkan seluruh tubuhku luruh, remuk. Perjuangan yang kumulai
dengan penuh percaya diri hilang tak berbekas. Perlahan kuremas kertas
pengumuman itu, dan kupandangi wajah guru yang dengan sorot matanya memintaku
seribu maklum. Percuma, karena perlahan kusadari, bukan hanya aku yang sedang
merasakan kekecewaan seperti ini. Ada yang lebih sakit. Seseorang yang kini ku
yakin sedang berusaha tersenyum. Walau aku tahu apa yang sebenarnya dia
rasakan. Ini benar-benar non-sense!
“Apa lagi?” Adam sudah terbiasa
dengan sikapku. Terlihat dari raut wajahnya yang dibalut seribu pemakluman.
“Kau teringat apa lagi atau
mendengar siapa lagi?” Wajahnya sekilas terlihat sinis sebelum buru-buru dia
hapus dengan sebuah topeng sahabat.
“Terimakasih untuk bertanya Dam, kau
tahu kadang aku merasa lebih beruntung diciptakan sebagai binatang daripada kita,
seonggok jasad yang mengaku manusia padahal…”
“Oh Tuhan, aku salah membawamu
kesini” Adam menepuk jidatnya setelah mengikuti arah pandangku, pada dua ekor
berang-berang yang dikurung di kolam kecil berair buram.
“Aku kira suasana adem kebun
binatang membuat kau lebih rileks..”
“Kita tak beda dengan mereka.
Dikurung. Bedanya mereka tak punya akal seperti kita. Tidak harus
bertanggungjawab dengan akal yang dianugerahkan”.
“Jadi, kebebasan? Kebebasan yang kamu
pertanyakan selama ini Effendi? Bukankah kebebasan itu tergantung pada perspektif
masing-masing individu. Bahkan di dalam penjarapun jika orang itu merasa bebas,
bukankah dia bisa disebut bebas?”
“Sahabatku mati Dam!” Adam pias,
bukan pada mengejutkannya berita dariku, tapi ucapanku yang keras memancing
perhatian para pengunjung yang sedang ramai-ramainya.
“Sahabat yang mana?” Adam bertanya
dengan mengecilkan suara, memintaku secara tak langsung untuk melakukan hal
yang sama.
Aku menengok jam tangan lalu menarik
tangan Adam menuju pintu keluar.
“Hey, hey, mau kemana?” Adam tentu
saja berontak.
“Mumpung kita di Jakarta”
“Iya, tapi mau kemana?”
“Mumpung masih siang”
“Iya, Effendi, tapi kita mau kemana?
Kita baru saja masuk , padahal tadi ngantrinya lama”
Aku berhenti mendadak, menatap
matanya yang masih sangat keberatan kuajak keluar.
“Kamu mau membuktikan ucapanku tadi
bukan?”
***
Meski kesal, Adam tetap
membuntutiku, tepatnya menyusulku, di shelter
busway center tadi kami sempat terpisah. Aku buru-buru naik begitu ada
kesempatan. Adam bengong entah karena ramainya orang atau pada aku.
“Syukurlah, ternyata aku harus
menyusul kamu kesini, bukan ke TPU”. Adam memasukkan HP ke dalam kantung celana
lalu mengusap peluh di dahi.
“Kalau aku jadi kamu, aku lebih
bersyukur kalau sekarang ada di TPU.”
“Jadi apa yang kamu cari disini?”
Suara itu, suara…
Kulirik Adam melipat tangan di dada,
mulai mengumpulkan stok sabar berikutnya. Meski mukanya terlipat seperti orang
yang baru saja tidak didengar omongannya.
“Eh, tadi itu kamu yang ngomong
Dam?” Aku jadi tersadar sesuatu.
“Emang kamu lihat orang lain disini
selain aku?” Untungnya Adam sudah kebal dengan keanehanku.
Astaga, apakah selama ini aku
berhalusinasi tentang negeri lain itu, bahwa ternyata yang ku dengar selama ini
adalah suara-suara dari alam nyata yang mungkin menggema dengan jarak waktu
yang tak tentu.
“Dam, kamu pernah mengajak aku
kesini sebelumnya?”
Adam diam sejenak. Mengerutkan
kening, sebelum akhirnya memilih menjawab asal.
“Kesini? Grogol? Tempat yang
terkenal Rumah Sakit Jiwanya? Aku rasa masih banyak tempat lain di Jakarta
yang…”
“Dam, ayo kita masuk…” Aku seperti mendengar
panggilan itu.
Sebelum Adam kembali protes, aku
sudah menariknya ke tempat yang membuatnya merinding itu. Dan kami serta merta
menemukan seseorang yang membuat kami terpaku.
***
Aku melemparkan kertas itu ke tanah,
menjejaknya, dan merasai seseorang juga sedang menjejak duniaku. Mengabaikan
ucapan selamat beberapa teman yang tahu nilaiku terbaik. Mulai nyinyir, dan
mempertanyakan tentang definisi terbaik itu.
“Seperti sudah kuduga” tangannya
menepuk pelan bahuku, menggoyang-goyangkannya, lalu menyunggingkan senyum
memaksaku dengan sorot matanya melakukan hal yang sama. Aku tak tahan untuk tak
segera memeluknya dan menangis sepuas-puasnya.
“Mungkin ini yang terbaik buat aku
bro” suaramu sama sekali tak terdengar putus asa.
“Mungkin memang aku kurang pintar.
Dan well, minimal kamu menjadi yang
terbaik bukan hanya di antara kita, tapi seluruh sekolah bro. Selamat ya.”
“Persetan dengan predikat terbaik !
Persetan dengan anggapan semua orang”
“Bro, Tuhan punya kehendak lain”
kamu berusaha kembali menenangkanku yang mulai menendang-nendang pasir.
“Apakah dunia ini hanya memedulikan
nilai dalam kertas? Lebih mementingkan basa-basi? Lebih..”
“Maka dari itu, mulai sekarang kita
rubah paradigma itu. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa keluar dari masalah
ini. Ngulang tahun depan misalnya, atau ikut paket C.
“Tapi, rencana kuliah bareng kita?”
“Kamu bisa duluan, atau kalau mau
menungguku satu tahun” kamu segera memperbaiki ucapanmu begitu melihat mataku
melotot.
Aku tak tahu lagi apa yang bisa aku
lakukan selain percaya padamu. Ya, apalagi. Bahkan saat aku menghadapi situasi
paling rumit bukannya hanya kamu sahabat yang datang menepuk pundakku, memeluk
punggungku, dan berbicara lewat tatapan mata. Mendengarkanku dan menggenggam
tanganku. Membuatku mengeluarkan janji-janji yang selalu kau setujui selama itu
demi masa depan kita. Kau yang tak pernah kulihat mengeluh, meski keadaan
selalu membuatmu harus selalu memutar otak untuk tidak menggagalkan rencana.
Tapi di sore itu, setelah kusaksikan
dari jauh rumah ayah tirimu ramai dengan suara makian, aku tak melihatmu lagi
bro. Aku tahu, kamu tak pernah menyerah, tak akan. Tapi keadaan selalu
memaksamu.
***
Aku tak tahan untuk tak memeluknya.
Lihatlah, dia kini hanya seonggok daging dan tulang tanpa kehidupan. Kucari-cari
sorot mata bersahabat itu dan ingin teriak sejadi-jadinya begitu aku kehilangan
dia untuk selamanya. Aku ingin meraung, tapi kesedihan ini lebih besar untuk
diwakili hanya oleh sebuah ratapan. Kulihat seragamnya yang menjijikan, yang
menghinakan. Aku bergetar melihat Adam yang hanya bisa melongo. Membiarkan
sahabatku kembali ke dunianya.
“Kamu ingat dia?”
“Kamu tahu apa masalahnya?”
“Dia…. Emm, gila?” Adam ragu-ragu
menjawab.
“Seandainya masalahnya cuma itu aku
mungkin masih bisa berdamai dengan keadaan”
“Terakhir ku temui dia, dia masih
terlihat seolah mengenaliku Dam”
“Aku mencari-carinya sudah lama.
Sampai tak sengaja ketika aku sedang magang kuliah disini, aku menemukannya.
Entah apa rasanya saat itu”
“Tapi, bukankah dia orang yang kuat,
menurutmu?”
“Ayah tirinya menyiksanya lahir
bathin Dam? Dia tak membiarkan dia pergi begitu saja, bahkan untuk merubah
takdir”
Aku tak menyalahkan takdir. Tapi
ketika manusia terlalu banyak intervensi siapa yang akan rela? Ketika manusia
sok tahu tentang apa yang harus kita lakukan, alih-alih mendengarkan apa yang
kita butuhkan.
“Effendi…..” terakhir kulihat Adam sedang
memainkan tangannya di depan wajahku. Tapi aku sedang tak sudi membagi
konsentrasi dengan suara seperti dari kejauhan yang semakin nyaring terdengar.
Suara yang sepertinya mendengar suaraku bahkan saat aku tidak bicara.
Dan
aku memutuskan ikut dengannya.
“Effendi!”
Ah!
Sahabatku itu, bukan Adam yang memanggil namaku dan mulai berlari ke arahku.
“Hahahaha.
Kamu kemana aja Effendi?” Astaga, sahabatku terlihat sangat bahagia. Seperti
tidak terjadi apa-apa.
Dimana
ini? Tempat yang aneh. Tapi aku merasa terhubung dengan siapapun yang ingin aku
hubungi. Entahlah, lebih baik kunikmati saja saat ini dan mulai menyambut
pelukan seorang sahabat. Inikah yang disebut negeri 1001 kilobyte yang terus
bergaung di kepalaku, dimana manusia bisa terhubung tanpa batas?
Selesai
Notes : Juara 1 Lomba Cerpen ASBO PP IPM 2013
Image : Doc. Pribadi
congrat !
ReplyDeletethx
ReplyDelete