Sunday, September 29, 2013

Negeri 1001 Kilobyte



    Negeriku ini isinya hanya orang-orang bodoh. Alih-alih mencari tahu cara menggunakan kesempatan, malah sibuk mencari hiburan. Sepotong haha saja bisa membuat lupa dirinya sedang dimana. Dan ketika hiburan semakin garing, mencari domba lain untuk diadu atau bahkan dengan suka rela mengajukan diri sebagai rival. Pikun sudah dirinya hendak kemana.
            Kalau begini, entah lebih baik berpihak kemana. Kepada aktivis yang rabun dan bermental tipis, atau kaum proletar yang bahkan tak mengerti apa definisi pintar. Di sini akal benar-benar seperti dimuseumkan, dan nurani tergantung pada siapa yang memuhasabahi.
            “Kamu sedang apa?”
            “Hah?”
            “Dari tadi kamu saya panggil diam terus, ngelamun kamu ya?”
            “Hah!?”
            “Hah-heh, hah-heh. Lama-lama kamu kaya engkong saya nanti. Linglung! Hahahahaha.”
            Aku tak terlalu berselera menanggapi atau bahkan ikut tertawa bersama seseorang yang mengaku berasal dari dunia nyata itu. Selain jengah narasi nalarku diinterupsi tanpa aba-aba, aku rasa aku tadi menangkap suara lain di kejauhan. Itulah alasan untuk ‘hah’ pertamaku. Seperti memanggilku.
            “Effendi ! Kamu itu kenapa sih? Niat gak sih jalan-jalan? Sebentar lagi kita nyampe Monas, sudah keliatan tuh pagarnya. Bang, bang, kiri bang.” Heboh Adam menarik tanganku dari bajaj, membayar ongkos, merabai keningku, dan geleng-geleng, lalu tak berapa lama dia mengangguk-angguk begitu menengadahkan wajah pada tugu yang sedang dikerubuti manusia-manusia pencari keramaian itu.
            Lalu mau kemana aku? Ketika benar tergantung pada siapa yang dengar. Hingga koar-koar hanya akan menamparku dengan kesadaran hanya membuat hingar-bingar.
            “Kita ke museumnya dulu yuk!”
            Dan manusia kadang terlalu banyak bicara, lupa untuk sejenak berpikir bahwa…
            “Atau langsung ke puncaknya dulu?”
            Bahwa..
            “Eh, eh, kayanya lucu tuh kalau naik kereta kelinci itu. Hahahahaha”
            “Kamu bisa diam dulu gak sih?!”
            “Maksudmu? Jadi kita mau jauh-jauh kesini cuman untuk bengong dan…”
            “Eh, eh bukan gitu maksudku Dam. Aku cuma…”
            “Ya, cuma! Jadi kamu kesini cuma untuk bengong kaya orang gila dan aku cuma harus bertugas memperhatikan wajah seram ngelamunmu itu?”
            “Maksudku, bukan kamu, bukan kamu yang aku suruh diam”
            “Lha, terus?”
Dan ekspressi bingung Adam kembali mengingatkanku kepada suara tadi. Kini semakin jelas, seperti memanggilku. Membisikku sesuatu, entah apa.
            Apalagi, apalagi yang harus aku dengar ketika suara yang mendominasi dunia nyata hanyalah lagu penenang jiwa. Yang jika berhenti sedetik, kekacauan terjadi membabi buta.
***
            Aku sudah pasrah, apapun hasilnya. Bukannya sudah kusepakati dengan hati bahwa ini konspirasi dunia untuk memformalkan basa-basi. Jika aku tak berhasil, berarti aku tak mencukupi kadar basa-basi yang mereka inginkan. Tapi garisbawahi itu, kata basa-basi. Mengapa aku harus memedulikan itu jika ada banyak hal penting yang harus kukejar.
            Aku mengejang! Tubuh ini kadang sering berkhianat dengan akal sehat. Kesepakatan itu percuma, karena tak ayal aku merasa separuh bahkan seluruh tubuhku luruh, remuk. Perjuangan yang kumulai dengan penuh percaya diri hilang tak berbekas. Perlahan kuremas kertas pengumuman itu, dan kupandangi wajah guru yang dengan sorot matanya memintaku seribu maklum. Percuma, karena perlahan kusadari, bukan hanya aku yang sedang merasakan kekecewaan seperti ini. Ada yang lebih sakit. Seseorang yang kini ku yakin sedang berusaha tersenyum. Walau aku tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Ini benar-benar non-sense!
            “Apa lagi?” Adam sudah terbiasa dengan sikapku. Terlihat dari raut wajahnya yang dibalut seribu pemakluman.
            “Kau teringat apa lagi atau mendengar siapa lagi?” Wajahnya sekilas terlihat sinis sebelum buru-buru dia hapus dengan sebuah topeng sahabat.
            “Terimakasih untuk bertanya Dam, kau tahu kadang aku merasa lebih beruntung diciptakan sebagai binatang daripada kita, seonggok jasad yang mengaku manusia padahal…”
            “Oh Tuhan, aku salah membawamu kesini” Adam menepuk jidatnya setelah mengikuti arah pandangku, pada dua ekor berang-berang yang dikurung di kolam kecil berair buram.
            “Aku kira suasana adem kebun binatang membuat kau lebih rileks..”
            “Kita tak beda dengan mereka. Dikurung. Bedanya mereka tak punya akal seperti kita. Tidak harus bertanggungjawab dengan akal yang dianugerahkan”.
            “Jadi, kebebasan? Kebebasan yang kamu pertanyakan selama ini Effendi? Bukankah kebebasan itu tergantung pada perspektif masing-masing individu. Bahkan di dalam penjarapun jika orang itu merasa bebas, bukankah dia bisa disebut bebas?”
            “Sahabatku mati Dam!” Adam pias, bukan pada mengejutkannya berita dariku, tapi ucapanku yang keras memancing perhatian para pengunjung yang sedang ramai-ramainya.
            “Sahabat yang mana?” Adam bertanya dengan mengecilkan suara, memintaku secara tak langsung untuk melakukan hal yang sama.
            Aku menengok jam tangan lalu menarik tangan Adam menuju pintu keluar.
            “Hey, hey, mau kemana?” Adam tentu saja berontak.
            “Mumpung kita di Jakarta”
            “Iya, tapi mau kemana?”
            “Mumpung masih siang”
            “Iya, Effendi, tapi kita mau kemana? Kita baru saja masuk , padahal tadi ngantrinya lama”
            Aku berhenti mendadak, menatap matanya yang masih sangat keberatan kuajak keluar.        
            “Kamu mau membuktikan ucapanku tadi bukan?”
***
            Meski kesal, Adam tetap membuntutiku, tepatnya menyusulku, di shelter busway center tadi kami sempat terpisah. Aku buru-buru naik begitu ada kesempatan. Adam bengong entah karena ramainya orang atau pada aku.
            “Syukurlah, ternyata aku harus menyusul kamu kesini, bukan ke TPU”. Adam memasukkan HP ke dalam kantung celana lalu mengusap peluh di dahi.
            “Kalau aku jadi kamu, aku lebih bersyukur kalau sekarang ada di TPU.”
            “Jadi apa yang kamu cari disini?” Suara itu, suara…
            Kulirik Adam melipat tangan di dada, mulai mengumpulkan stok sabar berikutnya. Meski mukanya terlipat seperti orang yang baru saja tidak didengar omongannya.
            “Eh, tadi itu kamu yang ngomong Dam?” Aku jadi tersadar sesuatu.
            “Emang kamu lihat orang lain disini selain aku?” Untungnya Adam sudah kebal dengan keanehanku.
            Astaga, apakah selama ini aku berhalusinasi tentang negeri lain itu, bahwa ternyata yang ku dengar selama ini adalah suara-suara dari alam nyata yang mungkin menggema dengan jarak waktu yang tak tentu.
            “Dam, kamu pernah mengajak aku kesini sebelumnya?”
            Adam diam sejenak. Mengerutkan kening, sebelum akhirnya memilih menjawab asal.
            “Kesini? Grogol? Tempat yang terkenal Rumah Sakit Jiwanya? Aku rasa masih banyak tempat lain di Jakarta yang…”
            “Dam,  ayo kita masuk…” Aku seperti mendengar panggilan itu.
            Sebelum Adam kembali protes, aku sudah menariknya ke tempat yang membuatnya merinding itu. Dan kami serta merta menemukan seseorang yang membuat kami terpaku.
***
            Aku melemparkan kertas itu ke tanah, menjejaknya, dan merasai seseorang juga sedang menjejak duniaku. Mengabaikan ucapan selamat beberapa teman yang tahu nilaiku terbaik. Mulai nyinyir, dan mempertanyakan tentang definisi terbaik itu.
            “Seperti sudah kuduga” tangannya menepuk pelan bahuku, menggoyang-goyangkannya, lalu menyunggingkan senyum memaksaku dengan sorot matanya melakukan hal yang sama. Aku tak tahan untuk tak segera memeluknya dan menangis sepuas-puasnya.
            “Mungkin ini yang terbaik buat aku bro” suaramu sama sekali tak terdengar putus asa.
            “Mungkin memang aku kurang pintar. Dan well, minimal kamu menjadi yang terbaik bukan hanya di antara kita, tapi seluruh sekolah bro. Selamat ya.”
            “Persetan dengan predikat terbaik ! Persetan dengan anggapan semua orang”
            “Bro, Tuhan punya kehendak lain” kamu berusaha kembali menenangkanku yang mulai menendang-nendang pasir.
            “Apakah dunia ini hanya memedulikan nilai dalam kertas? Lebih mementingkan basa-basi? Lebih..”
            “Maka dari itu, mulai sekarang kita rubah paradigma itu. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa keluar dari masalah ini. Ngulang tahun depan misalnya, atau ikut paket C.
            “Tapi, rencana kuliah bareng kita?”
            “Kamu bisa duluan, atau kalau mau menungguku satu tahun” kamu segera memperbaiki ucapanmu begitu melihat mataku melotot.
            Aku tak tahu lagi apa yang bisa aku lakukan selain percaya padamu. Ya, apalagi. Bahkan saat aku menghadapi situasi paling rumit bukannya hanya kamu sahabat yang datang menepuk pundakku, memeluk punggungku, dan berbicara lewat tatapan mata. Mendengarkanku dan menggenggam tanganku. Membuatku mengeluarkan janji-janji yang selalu kau setujui selama itu demi masa depan kita. Kau yang tak pernah kulihat mengeluh, meski keadaan selalu membuatmu harus selalu memutar otak untuk tidak menggagalkan rencana.
            Tapi di sore itu, setelah kusaksikan dari jauh rumah ayah tirimu ramai dengan suara makian, aku tak melihatmu lagi bro. Aku tahu, kamu tak pernah menyerah, tak akan. Tapi keadaan selalu memaksamu.
***
            Aku tak tahan untuk tak memeluknya. Lihatlah, dia kini hanya seonggok daging dan tulang tanpa kehidupan. Kucari-cari sorot mata bersahabat itu dan ingin teriak sejadi-jadinya begitu aku kehilangan dia untuk selamanya. Aku ingin meraung, tapi kesedihan ini lebih besar untuk diwakili hanya oleh sebuah ratapan. Kulihat seragamnya yang menjijikan, yang menghinakan. Aku bergetar melihat Adam yang hanya bisa melongo. Membiarkan sahabatku kembali ke dunianya.
            “Kamu ingat dia?”
            “Kamu tahu apa masalahnya?”
            “Dia…. Emm, gila?” Adam ragu-ragu menjawab.
            “Seandainya masalahnya cuma itu aku mungkin masih bisa berdamai dengan keadaan”
            “Terakhir ku temui dia, dia masih terlihat seolah mengenaliku Dam”
            “Aku mencari-carinya sudah lama. Sampai tak sengaja ketika aku sedang magang kuliah disini, aku menemukannya. Entah apa rasanya saat itu”
            “Tapi, bukankah dia orang yang kuat, menurutmu?”
            “Ayah tirinya menyiksanya lahir bathin Dam? Dia tak membiarkan dia pergi begitu saja, bahkan untuk merubah takdir”
            Aku tak menyalahkan takdir. Tapi ketika manusia terlalu banyak intervensi siapa yang akan rela? Ketika manusia sok tahu tentang apa yang harus kita lakukan, alih-alih mendengarkan apa yang kita butuhkan.
            “Effendi…..” terakhir kulihat Adam sedang memainkan tangannya di depan wajahku. Tapi aku sedang tak sudi membagi konsentrasi dengan suara seperti dari kejauhan yang semakin nyaring terdengar. Suara yang sepertinya mendengar suaraku bahkan saat aku tidak bicara.
Dan aku memutuskan ikut dengannya.
“Effendi!”
Ah! Sahabatku itu, bukan Adam yang memanggil namaku dan mulai berlari ke arahku.
“Hahahaha. Kamu kemana aja Effendi?” Astaga, sahabatku terlihat sangat bahagia. Seperti tidak terjadi apa-apa.
Dimana ini? Tempat yang aneh. Tapi aku merasa terhubung dengan siapapun yang ingin aku hubungi. Entahlah, lebih baik kunikmati saja saat ini dan mulai menyambut pelukan seorang sahabat. Inikah yang disebut negeri 1001 kilobyte yang terus bergaung di kepalaku, dimana manusia bisa terhubung tanpa batas?
                                                                   Selesai                        

Notes : Juara 1 Lomba Cerpen ASBO PP IPM 2013
Image : Doc. Pribadi

2 comments: