Saturday, June 8, 2013

Commuter, Koq Muter?



Waktu memang terkadang seperti terbang. Splash ! Tiba-tiba saja aku sudah berada di dalam KRL atau Commuter Line, yang karena baru kali pertama ini aku menaikinya aku sempat terbengong-bengong dengan sistemnya yang efisien dan ‘kerapian’ para penumpangnya.
“Turun disini?” Aku segera menghentikan berhaha-hihi melihat gelagat teman seperjalananku, Ika, mau turun. Dan tanpa menunggu jawabannya aku mengikuti langkah lincah Ika yang sudah loncat ke tepian peron. Dan disinilah awal semua kekacauan terjadi. Aku ketinggalan tas di Commuter yang mulai berangkat perlahan itu ! Gawat.

Kalian pernah lupa? Tahu kan rasanya lupa? Kesel, pasti. Apalagi jika karena lupa tersebut menyebabkan kita harus kehilangan benda berharga. Nyesek.
OK. Langkah pertama yang langsung kulakukan pastinya kembali ke pintu tempat aku turun, bermaksud untuk masuk kembali dan nanti turun di stasiun berikutnya. Masalah balik ke stasiun semula urusan nanti. Sial, kereta sudah berjalan, dan pintu otomatis itu tak bisa dibuka meski sudah dicoba dibuka paksa oleh penumpang yang berada di dalam yang melihat gelagatku akan masuk kembali. Nihil, pintu otomatis itu bergeming.
Panik? Ah, aku mencoba stay cool. Pasti ada jalan keluar.
“Jadi gimana dong nih?” Ika bertanya, pertanyaan yang membuat niat stay cool ku langsung berantakan.
“Kita lapor ke bagian informasi aja yuk !”
Jadi disinilah kami. Di ruang informasi sekaligus petugas penjual tiket yang pintunya kami gedor-gedor tak sabaran karena panik barang kami (aku) yang tertinggal akan hilang begitu saja. Setelah 2 jam lalu baru saja ngos-ngosan nyari taksi menuju stasiun KRL Batu Ceper, Tangerang. Untuk mengikuti acara ToT Jurnalistik PP IPM di Graha Insan Cita, Depok yang sebetulnya absen kami ikuti satu hari pasca pembukaan acara di Jakarta, -kami kembali ke habitat masing-masing dulu untuk menyelesaikan pekerjaan yang tak bisa ditinggal.
“Gimana mbak, udah ketemu belum?” Ika yang dasarnya emang cerewet terus menerus bertanya, terlihat lebih panik daripada aku yang kehilangan barang.
“Maaf, di Stasiun Depok tidak ada, Di Citayam juga” Kata si mbak-mbak petugas bagian informasi yang sambil ngobrol tangannya terus bekerja efisien mengontrol hilir mudik kereta api lewat tombol-tombol di komputer dan mikrofon yang terus menerus meneriakan suaranya memberikan informasi kepada para penumpang.
“Waduh, gimana dong mbak, bakalan ada gak kira-kira?” Ika makin cemas.
“Nanti dicari di stasiun Bogor” Jawab si mbak yang belakangan kami ketahui bernama Meti.
“Trus misalkan emang ada disana, kita harus kesana gitu?” Ika nyecar si mbak Meti lagi.
“Ya, kalian nanti kesana dulu nyusulin, nanti baru balik kesini lagi” Jawabnya masih dengan santai dan senyum. Sepertinya mbak Meti ini sudah terbiasa menangani customer yang kehilangan barang -sebawel apapun itu.
“Pake tiket yang itu saja, trus nanti kalian beli tiket yang di sana ke stasiun Pondok Cina. Masih ada koq sampe jam sepuluh malam” Mbak Meti kembali menjawab pertanyaan kami tentang teknis berangkat kesana setelah diberitahu barang kami memang ada di stasiun Bogor. Aku langsung refleks melihat jam tangan begitu dia menyebut-nyebut jam. Terpikir nanti kami akan sangat terlambat sekali ke tempat pelatihan.
Sudahlah, mudah-mudahan panitia mengerti dengan kondisi kami. Kamipun akhirnya menuruti saran mbak Meti untuk duduk manis menunggu kereta menuju Bogor setelah capek dan merasa puas tanya-tanya mulai dari petugas yang lain, satpam di luar, sampai menelepon panitia di lokasi acara untuk memastikan alamat pelatihan agar nanti tidak nyasar.
“Tuh, keretanya bentar lagi nyampe” Kata mbak Meti akhirnya, setelah sedikit malu-malu kami foto untuk dokumentasi pengalaman luar biasa ini. Kami pun bergegas ke luar dari ruangan informasi menuju tempat pemberhentian kereta meninggalkan mbak Meti dengan senyum manisnya yang kembali mengontrol lalu lintas kereta dan melayani penumpang lain yang juga ketinggalan barang. Tuh kan, dia memang sudah sering menangani ‘masalah’ penumpang.
Jugijagijugijagijug… Bunyi kereta dari kejauhan terdengar. Di situasi masih kritis dan melelahkan seperti ini aku malah ingin tertawa. Teringat beberapa hal. Pertama, bunyi kereta itu mengingatkanku pada lagu dangdut yang lagi happening sering dinyanyiin para dangduters di sekitarku. Kedua, dipikir-pikir ini sangat menyenangkan. Bagaimana tidak, kejadian ini cukup memacu adrenalin –bikin harap-harap cemas, ditambah antusiasme mendapatkan pengalaman baru dan bonus pengetahuan lebih tentang commuter karena pengalaman pertama langsung ‘mengobrak-abrik’ bagian informasi dan akan bolak-balik naek commuter yang tentunya banyaknya jam terbang akan membuat makin banyak pemahaman.
Aku masih tertawa (dalam hati) mengabaikan sinar silau commuter hingga kemudian panik ternyata kami menunggu di pintu yang salah. Kami kebagian pintu paling belakang kereta yang tentu saja sial bagi saya, ini kereta khusus perempuan! Ya, tentu saja yang saya maksud gerbong khusus perempuan meskipun tulisan di luar kereta memang seperti itu.
Sambil mati-matian nahan agar tidak menyenandungkan lagu dangdut yang anehnya malah makin sering melintas di kepala. Aku mengabaikan tatapan sebal kaum hawa yang melihatku nyempil di kereta khusus kaum mereka. Untung ada beberapa kaum adam juga yang sepertinya seperti saya, terpaksa nyempil disana.
“Jangan masuk mas, nanti dimarahin sama petugas” Seorang perempuan muda berbaik hati mengingatkanku. Yang dimaksud jangan masuk, jangan masuk terlalu dalam, cukup di paling ujung saja. Deg! Ketakutan baru tiba-tiba mulai menjalariku, gimana kalau aku harus diturunkan, sementara aku harus buru-buru. Walaupun sebagian hatiku yang lain juga penasaran tentang bagaimana rasanya diusir dari kereta. Parah.
Alhamdulillah, kekhawatiranku tidak terbukti. Setelah berkali-kali tanya dimana stasiun Bogor yang semestinya tidak kami lakukan karena stasiun Bogor terletak di paling ujung. Kami turun dengan harap-harap cemas, sedikit celingak-celinguk mencari bagian informasi stasiun Bogor.
“Permisi Pak”
“Ya?” Seorang petugas menatapku ramah, diikuti tatapan para petugas lain disana yang semuanya laki-laki yang kemudian ikut menyunggingkan senyum ramah. Entah mengapa melihat body language para petugas yang seperti itu membuatku makin bersyukur telah diberi “kejutan’ seperti ini oleh sang pemilik takdir. Haha.
“Kami tadi ketinggalan barang” akhirnya aku sadar tentang tujuanku kesana.
“Tas warna merah Pak, yang dari stasiun Pondok Cina” Ika seperti biasa selalu bisa menjelasskan situassi dengan cepat.
“Oh, iya, ada” Salah satu petugas menjawab dengan senyum dan langsung mengambil tas yang dia maksud yang membuat kami tanpa dikomando kompak menghembuskan nafas lega.
“Alhamdulillah, terimakasih ya pak” Aku mencoba berterimakasih setulus mungkin. Kalau saja saat itu aku memegang sekoper emas batangan akan aku kasihin ke mereka. Hehe.
Setelah sekali lagi berbasa-basi debgab petugas stasiun, kami meningalkan Bagian Informassi Stasiun Bogor, membeli tiket menuju Stasiun Pondok Cina dan kembali menikmati bunyi dan interior kereta yang nyaman sambil sekali lagi mati-matian untuk tidak menyenandungkan lagu dangdut ‘sialan ’ itu. (Maaf, bukan berarti aku membenci dangdut, tapi tampangku sudah cukup aneh jadi tak perlu ditambahi lagi dengan dangdut J )
Pengalaman pertama naik commuter yang menyenangkan, meskipun harus muter-muter. Tapi sebagai penikmat aktivitas jalan-jalan. Commuter menurutku salah satu alat transportasi yang patut dicoba.
Coba aja ! J
Suatu malam yang Indah di Depok.



No comments:

Post a Comment