Waktu memang terkadang seperti
terbang. Splash ! Tiba-tiba saja aku sudah berada di dalam KRL atau Commuter
Line, yang karena baru kali pertama ini aku menaikinya aku sempat
terbengong-bengong dengan sistemnya yang efisien dan ‘kerapian’ para
penumpangnya.
“Turun disini?” Aku segera
menghentikan berhaha-hihi melihat gelagat teman seperjalananku, Ika, mau turun.
Dan tanpa menunggu jawabannya aku mengikuti langkah lincah Ika yang sudah
loncat ke tepian peron. Dan disinilah awal semua kekacauan terjadi. Aku
ketinggalan tas di Commuter yang mulai berangkat perlahan itu ! Gawat.
Kalian pernah lupa? Tahu kan
rasanya lupa? Kesel, pasti. Apalagi jika karena lupa tersebut menyebabkan kita
harus kehilangan benda berharga. Nyesek.
OK. Langkah pertama yang langsung
kulakukan pastinya kembali ke pintu tempat aku turun, bermaksud untuk masuk
kembali dan nanti turun di stasiun berikutnya. Masalah balik ke stasiun semula
urusan nanti. Sial, kereta sudah berjalan, dan pintu otomatis itu tak bisa
dibuka meski sudah dicoba dibuka paksa oleh penumpang yang berada di dalam yang
melihat gelagatku akan masuk kembali. Nihil, pintu otomatis itu bergeming.
Panik? Ah, aku mencoba stay cool. Pasti ada jalan keluar.
“Jadi gimana dong nih?” Ika
bertanya, pertanyaan yang membuat niat stay
cool ku langsung berantakan.
“Kita lapor ke bagian informasi
aja yuk !”
Jadi disinilah kami. Di ruang
informasi sekaligus petugas penjual tiket yang pintunya kami gedor-gedor tak
sabaran karena panik barang kami (aku) yang tertinggal akan hilang begitu saja.
Setelah 2 jam lalu baru saja ngos-ngosan nyari taksi menuju stasiun KRL Batu
Ceper, Tangerang. Untuk mengikuti acara ToT Jurnalistik PP IPM di Graha Insan
Cita, Depok yang sebetulnya absen kami ikuti satu hari pasca pembukaan acara di
Jakarta, -kami kembali ke habitat masing-masing dulu untuk menyelesaikan
pekerjaan yang tak bisa ditinggal.
“Gimana mbak, udah ketemu belum?”
Ika yang dasarnya emang cerewet terus menerus bertanya, terlihat lebih panik
daripada aku yang kehilangan barang.
“Maaf, di Stasiun Depok tidak
ada, Di Citayam juga” Kata si mbak-mbak petugas bagian informasi yang sambil
ngobrol tangannya terus bekerja efisien mengontrol hilir mudik kereta api lewat
tombol-tombol di komputer dan mikrofon yang terus menerus meneriakan suaranya
memberikan informasi kepada para penumpang.
“Waduh, gimana dong mbak, bakalan
ada gak kira-kira?” Ika makin cemas.
“Nanti dicari di stasiun Bogor”
Jawab si mbak yang belakangan kami ketahui bernama Meti.
“Trus misalkan emang ada disana,
kita harus kesana gitu?” Ika nyecar si mbak Meti lagi.
“Ya, kalian nanti kesana dulu
nyusulin, nanti baru balik kesini lagi” Jawabnya masih dengan santai dan
senyum. Sepertinya mbak Meti ini sudah terbiasa menangani customer yang
kehilangan barang -sebawel apapun itu.
“Pake tiket yang itu saja, trus
nanti kalian beli tiket yang di sana ke stasiun Pondok Cina. Masih ada koq
sampe jam sepuluh malam” Mbak Meti kembali menjawab pertanyaan kami tentang
teknis berangkat kesana setelah diberitahu barang kami memang ada di stasiun
Bogor. Aku langsung refleks melihat jam tangan begitu dia menyebut-nyebut jam.
Terpikir nanti kami akan sangat terlambat sekali ke tempat pelatihan.
Sudahlah, mudah-mudahan panitia
mengerti dengan kondisi kami. Kamipun akhirnya menuruti saran mbak Meti untuk
duduk manis menunggu kereta menuju Bogor setelah capek dan merasa puas
tanya-tanya mulai dari petugas yang lain, satpam di luar, sampai menelepon
panitia di lokasi acara untuk memastikan alamat pelatihan agar nanti tidak
nyasar.
“Tuh, keretanya bentar lagi
nyampe” Kata mbak Meti akhirnya, setelah sedikit malu-malu kami foto untuk
dokumentasi pengalaman luar biasa ini. Kami pun bergegas ke luar dari ruangan
informasi menuju tempat pemberhentian kereta meninggalkan mbak Meti dengan
senyum manisnya yang kembali mengontrol lalu lintas kereta dan melayani
penumpang lain yang juga ketinggalan barang. Tuh kan, dia memang sudah sering
menangani ‘masalah’ penumpang.
Jugijagijugijagijug… Bunyi kereta
dari kejauhan terdengar. Di situasi masih kritis dan melelahkan seperti ini aku
malah ingin tertawa. Teringat beberapa hal. Pertama, bunyi kereta itu
mengingatkanku pada lagu dangdut yang lagi happening sering dinyanyiin para
dangduters di sekitarku. Kedua, dipikir-pikir ini sangat menyenangkan.
Bagaimana tidak, kejadian ini cukup memacu adrenalin –bikin harap-harap cemas,
ditambah antusiasme mendapatkan pengalaman baru dan bonus pengetahuan lebih
tentang commuter karena pengalaman pertama langsung ‘mengobrak-abrik’ bagian
informasi dan akan bolak-balik naek commuter yang tentunya banyaknya jam
terbang akan membuat makin banyak pemahaman.
Aku masih tertawa (dalam hati)
mengabaikan sinar silau commuter hingga kemudian panik ternyata kami menunggu
di pintu yang salah. Kami kebagian pintu paling belakang kereta yang tentu saja
sial bagi saya, ini kereta khusus perempuan! Ya, tentu saja yang saya maksud
gerbong khusus perempuan meskipun tulisan di luar kereta memang seperti itu.
Sambil mati-matian nahan agar
tidak menyenandungkan lagu dangdut yang anehnya malah makin sering melintas di
kepala. Aku mengabaikan tatapan sebal kaum hawa yang melihatku nyempil di
kereta khusus kaum mereka. Untung ada beberapa kaum adam juga yang sepertinya
seperti saya, terpaksa nyempil disana.
“Jangan masuk mas, nanti
dimarahin sama petugas” Seorang perempuan muda berbaik hati mengingatkanku.
Yang dimaksud jangan masuk, jangan masuk terlalu dalam, cukup di paling ujung
saja. Deg! Ketakutan baru tiba-tiba mulai menjalariku, gimana kalau aku harus
diturunkan, sementara aku harus buru-buru. Walaupun sebagian hatiku yang lain
juga penasaran tentang bagaimana rasanya diusir dari kereta. Parah.
Alhamdulillah, kekhawatiranku
tidak terbukti. Setelah berkali-kali tanya dimana stasiun Bogor yang semestinya
tidak kami lakukan karena stasiun Bogor terletak di paling ujung. Kami turun
dengan harap-harap cemas, sedikit celingak-celinguk mencari bagian informasi stasiun
Bogor.
“Permisi Pak”
“Ya?” Seorang petugas menatapku
ramah, diikuti tatapan para petugas lain disana yang semuanya laki-laki yang
kemudian ikut menyunggingkan senyum ramah. Entah mengapa melihat body language para petugas yang seperti
itu membuatku makin bersyukur telah diberi “kejutan’ seperti ini oleh sang
pemilik takdir. Haha.
“Kami tadi ketinggalan barang”
akhirnya aku sadar tentang tujuanku kesana.
“Tas warna merah Pak, yang dari
stasiun Pondok Cina” Ika seperti biasa selalu bisa menjelasskan situassi dengan
cepat.
“Oh, iya, ada” Salah satu petugas
menjawab dengan senyum dan langsung mengambil tas yang dia maksud yang membuat
kami tanpa dikomando kompak menghembuskan nafas lega.
“Alhamdulillah, terimakasih ya
pak” Aku mencoba berterimakasih setulus mungkin. Kalau saja saat itu aku
memegang sekoper emas batangan akan aku kasihin ke mereka. Hehe.
Setelah sekali lagi berbasa-basi
debgab petugas stasiun, kami meningalkan Bagian Informassi Stasiun Bogor, membeli
tiket menuju Stasiun Pondok Cina dan kembali menikmati bunyi dan interior
kereta yang nyaman sambil sekali lagi mati-matian untuk tidak menyenandungkan
lagu dangdut ‘sialan ’ itu. (Maaf, bukan berarti aku membenci dangdut, tapi
tampangku sudah cukup aneh jadi tak perlu ditambahi lagi dengan dangdut J )
Pengalaman pertama naik commuter yang
menyenangkan, meskipun harus muter-muter. Tapi sebagai penikmat aktivitas
jalan-jalan. Commuter menurutku salah satu alat transportasi yang patut dicoba.
Coba aja ! J
Suatu malam yang Indah di Depok.
No comments:
Post a Comment