Thursday, August 1, 2013

Cukup Berdo’a Lalu Tidur


            Sabar itu bukan berarti diam bukan? Mana ada orang bisa sukses hanya dengan berdiam diri. Makanya perintah Tuhan tentang meminta pertolongan harus dengan cara sabar dan shalat itu, sabar disitu diartikan dengan sabar yang aktif. Yaitu sabar sambil terus berikhtiar agar tujuannya tercapai.
            Ya, teori itu mungkin sudah menjadi rahasia umum. Tapi kejadian yang kualami barusan justu bertolak belakang dengan prinsip itu. Aku hanya cukup berdo’a lalu tidur. Tidur secara harfiah. Karena jika sedikit saja kubuka mataku, langsung tak tertahan mulutku untuk mengabsen penghuni kebun binatang.

            Tin, tin !
            Maju terus!
            Tin, tin!
            Kanan pere yok, kanan pere yok!
            Tin, tin !
            “Astaghfirullahal adziim..” Gabrug, gabrug!
            “Awas pir, awas…!”
            Tin, tin !
            “Pir…”
            Tiiin………….. !
            Seketika detik jam serasa dipause. Aku sudah merinding membayangkan kejadian berikutnya ketika sebuah mobil dari arah berlawanan melaju dengan kencang ketika pada saat bersamaan bus yang kutumpangi sedang menyalip mobil di depannya. Hanya Tuhan yang tahu kenapa bus itu bisa lolos dari jepitan kedua buah mobil.
            “Bu, bu, mending ibu di belakang saja bu. Ganggu saya itu bu. Saya gak konsentrasi!” Makian si supir kepada ibu-bu yang dari tadi reflek menegur sopir itu menahan sejenak tarikan nafas legaku.
            Si ibu dengan muka pucat lebih karena kejadian tadi segera beringsut ke kursi belakang membawa balita dalam gendongannya. Lalu tak tahan dengan luapan emosinya dia berujar
            “Kalau bawa mobilnya gak ugal-ugalan mah saya juga biasa aja” lebih kepada diri sendiri.
            Aku ingin bertanya tentang kondisinya sekedar basa-basi. Tapi si sopir tak memberikan kesempatan pada kami untuk segera bernafas lega. Begitu ada kesempatan ngebut dia kembali tancap gas, tak peduli sepeda motor dari arah berlawanan kocar-kacir, orang-orang yang tadinya mau nyebrang urung dengan muka pucat pasi. Tak peduli dengan kondisi jalanan jelek dan disana –sini sedang ada perbaikan.
            Hingga sampai pada terminal dimana sebuah bus yang padahal dengan nama perusahaan yang sama menyalipnya si sopir makin kocar-kacir. Berusaha menerobos lampu merah yang syukurnya segera berubah menjadi hijau hanya untuk kembali menjadi yang terdepan.
            Sreeeeeeet, tin… !
            Aku sangat bersyukur saat itu tidak disertai bunyi ‘brug’!
Karena suatu pemandangan yang jarang bagiku dua buah bus berhenti persis bersisian di jalan raya sehingga bus yang satu menghalangi ruas jalan yang merupakan arah jalan berlawanan. 
Lalu tiba-tiba teriakan-teriakan gaduh terdengar, rupanya kondektur masing-masing bus itu segera turun membentangkan tangan ke arah para calon penumpang yang sedang menunggu di tempat strategis itu. Seperti sedang mengungkung anak ayam yang mau lari, segera bertanya pada penumpang hendak kemana sambil menarik-narik tangannya. Dua orang kondektur itu berlomba karena penumpang itu bergerombol, jika naik yang satu pasti naik yang lain. Akhirnya pertempuran sengit itu dimenangi kondektur bus yang kutumpangi yang memang posisinya lebih dekat dengan para calon penumpang itu karena busnya berhenti paling dekat dengan pinggir jalan tempat penumpang menungu.
Saat itu perasaanku campur aduk. Kaget, bingung, marah, kesal melihat aksi sopir dan kondektur bus itu dan lucu melihat ekspresi shock para calon penumpang yang diperlakukan seperti ayam itu.
Kejaidan horor yang singkat itu ditutup senyum heran dan angkatan bahu tukang gorengan yang nongkrong dekat dengan TKP. Dari ekspresinya seolah bisa kubaca, ‘gak pernah berubah kelakuan  mereka ini”.
Aku kembali hendak mengambil nafas lega. Tapi si sopir rupanya gak kapok, menganggap jalanan sebagai arena balap. Si ibu-ibu yang dimaki tadi yang akhirnya beringsut ke tempat duduk persis di sebelahku, kembali mengumpat kelepasan, memandangi cemas anaknya, penumpang lain bersorak dan sebagian ada yang tertawa menertawakan tingkah sopir yang kelewatan (entahlah dia mungkin menganggap tertawa lebih efektif menyadarkan sopir dibanding umpatan).
Dan aku, meski sudah terbiasa menumpang bus yang ugal-ugalan dan biasanya tenang-tenang aja, demi melihat ekspresi ketakutan si ibu, tiba-tiba tak tahan untuk tidak ikut mengumpat.
Saat akhirnya tak tahu apalagi yang harus dilakukan, karena meminta diturunkan saja ditengah jalan sepertinya tak menyelesaikan masalah karena aku pasti harus menaiki bus yang lain yang akan sama saja tingkah sopirnya (sebagian kecil ada sih sopir yang kalem) memilih untuk berpegangan pada besi di bawah kaca, memejamkan mata lalu berdo’a.
Semoga si sopir sadar bahwa dia sedang membawa manusia yang nyawanya masing-masing cuma satu, dan berdo’a semoga jumlah target setoran yang dia kejar di bulan ramadhan ini tercapai supaya mengurangi tingkah ugal-ugalannya.
Begitu ironis keaadaan ini, waktu sebelum naik bus para calon penumpang dirayu-rayu untuk naik, setelah naik diperlakukan seenaknya. Tapi ironi yang sebenarnya adalah, ketika sebagian orang bahkan rela mengorbankan nyawanya sendiri (mungkin bahkan orang lain) orang-orang yang mengaku memperjuangkan kesejahteraan rakyat malah ongkang-ongkang kaki menghitung berapa banyak jatah yang bisa dia dapat dari sebuah perjanjian proyek, tak peduli sedikit pun pada berapa nyawa yang harus dikorbankan.

Who do you think you are?


Image by : www.bhmpics.com

No comments:

Post a Comment