Sabar itu bukan berarti diam bukan?
Mana ada orang bisa sukses hanya dengan berdiam diri. Makanya perintah Tuhan
tentang meminta pertolongan harus dengan cara sabar dan shalat itu, sabar
disitu diartikan dengan sabar yang aktif. Yaitu sabar sambil terus berikhtiar
agar tujuannya tercapai.
Ya, teori itu mungkin sudah menjadi
rahasia umum. Tapi kejadian yang kualami barusan justu bertolak belakang dengan
prinsip itu. Aku hanya cukup berdo’a lalu tidur. Tidur secara harfiah. Karena jika
sedikit saja kubuka mataku, langsung tak tertahan mulutku untuk mengabsen
penghuni kebun binatang.
Tin, tin !
Maju terus!
Tin, tin!
Kanan pere yok, kanan pere yok!
Tin, tin !
“Astaghfirullahal adziim..” Gabrug,
gabrug!
“Awas pir, awas…!”
Tin, tin !
“Pir…”
Tiiin………….. !
Seketika detik jam serasa dipause. Aku sudah merinding membayangkan
kejadian berikutnya ketika sebuah mobil dari arah berlawanan melaju dengan
kencang ketika pada saat bersamaan bus yang kutumpangi sedang menyalip mobil di
depannya. Hanya Tuhan yang tahu kenapa bus itu bisa lolos dari jepitan kedua
buah mobil.
“Bu, bu, mending ibu di belakang
saja bu. Ganggu saya itu bu. Saya gak konsentrasi!” Makian si supir kepada
ibu-bu yang dari tadi reflek menegur sopir itu menahan sejenak tarikan nafas
legaku.
Si ibu dengan muka pucat lebih
karena kejadian tadi segera beringsut ke kursi belakang membawa balita dalam
gendongannya. Lalu tak tahan dengan luapan emosinya dia berujar
“Kalau bawa mobilnya gak ugal-ugalan
mah saya juga biasa aja” lebih kepada diri sendiri.
Aku ingin bertanya tentang
kondisinya sekedar basa-basi. Tapi si sopir tak memberikan kesempatan pada kami
untuk segera bernafas lega. Begitu ada kesempatan ngebut dia kembali tancap
gas, tak peduli sepeda motor dari arah berlawanan kocar-kacir, orang-orang yang
tadinya mau nyebrang urung dengan muka pucat pasi. Tak peduli dengan kondisi
jalanan jelek dan disana –sini sedang ada perbaikan.
Hingga sampai pada terminal dimana
sebuah bus yang padahal dengan nama perusahaan yang sama menyalipnya si sopir
makin kocar-kacir. Berusaha menerobos lampu merah yang syukurnya segera berubah
menjadi hijau hanya untuk kembali menjadi yang terdepan.
Sreeeeeeet, tin… !
Aku sangat bersyukur saat itu tidak
disertai bunyi ‘brug’!
Karena
suatu pemandangan yang jarang bagiku dua buah bus berhenti persis bersisian di
jalan raya sehingga bus yang satu menghalangi ruas jalan yang merupakan arah
jalan berlawanan.
Lalu
tiba-tiba teriakan-teriakan gaduh terdengar, rupanya kondektur masing-masing
bus itu segera turun membentangkan tangan ke arah para calon penumpang yang
sedang menunggu di tempat strategis itu. Seperti sedang mengungkung anak ayam
yang mau lari, segera bertanya pada penumpang hendak kemana sambil
menarik-narik tangannya. Dua orang kondektur itu berlomba karena penumpang itu
bergerombol, jika naik yang satu pasti naik yang lain. Akhirnya pertempuran
sengit itu dimenangi kondektur bus yang kutumpangi yang memang posisinya lebih
dekat dengan para calon penumpang itu karena busnya berhenti paling dekat
dengan pinggir jalan tempat penumpang menungu.
Saat
itu perasaanku campur aduk. Kaget, bingung, marah, kesal melihat aksi sopir dan
kondektur bus itu dan lucu melihat ekspresi shock para calon penumpang
yang diperlakukan seperti ayam itu.
Kejaidan
horor yang singkat itu ditutup senyum heran dan angkatan bahu tukang gorengan
yang nongkrong dekat dengan TKP. Dari ekspresinya seolah bisa kubaca, ‘gak
pernah berubah kelakuan mereka ini”.
Aku
kembali hendak mengambil nafas lega. Tapi si sopir rupanya gak kapok,
menganggap jalanan sebagai arena balap. Si ibu-ibu yang dimaki tadi yang
akhirnya beringsut ke tempat duduk persis di sebelahku, kembali mengumpat kelepasan,
memandangi cemas anaknya, penumpang lain bersorak dan sebagian ada yang tertawa
menertawakan tingkah sopir yang kelewatan (entahlah dia mungkin menganggap tertawa
lebih efektif menyadarkan sopir dibanding umpatan).
Dan
aku, meski sudah terbiasa menumpang bus yang ugal-ugalan dan biasanya
tenang-tenang aja, demi melihat ekspresi ketakutan si ibu, tiba-tiba tak tahan
untuk tidak ikut mengumpat.
Saat
akhirnya tak tahu apalagi yang harus dilakukan, karena meminta diturunkan saja
ditengah jalan sepertinya tak menyelesaikan masalah karena aku pasti harus
menaiki bus yang lain yang akan sama saja tingkah sopirnya (sebagian kecil ada
sih sopir yang kalem) memilih untuk berpegangan pada besi di bawah kaca, memejamkan
mata lalu berdo’a.
Semoga
si sopir sadar bahwa dia sedang membawa manusia yang nyawanya masing-masing cuma
satu, dan berdo’a semoga jumlah target setoran yang dia kejar di bulan ramadhan
ini tercapai supaya mengurangi tingkah ugal-ugalannya.
Begitu
ironis keaadaan ini, waktu sebelum naik bus para calon penumpang dirayu-rayu
untuk naik, setelah naik diperlakukan seenaknya. Tapi ironi yang sebenarnya
adalah, ketika sebagian orang bahkan rela mengorbankan nyawanya sendiri
(mungkin bahkan orang lain) orang-orang yang mengaku memperjuangkan
kesejahteraan rakyat malah ongkang-ongkang kaki menghitung berapa banyak jatah
yang bisa dia dapat dari sebuah perjanjian proyek, tak peduli sedikit pun pada
berapa nyawa yang harus dikorbankan.
Who do you think you are?
Image by : www.bhmpics.com
No comments:
Post a Comment