“Apa itu?”
Hah.
“Eid?”
“Itu apa?”
Astaga.
“Kalian
menyebut akhir Ramadhan dengan sebutan apa?”
“Oh itu,
kami menyebutnya Bayram”
“Bayram?
Umm, kapan disana Bayram?”
“Sama dengan
Negara lain? Emang bisa berbeda ya? Kan pastinya sama aja”
“I don’t think so”
“Maksudmu di
Negaramu bisa jadi berbeda dengan Negara lain?”
“Ya, bahkan
di (dalam) Negaraku sendiri pasti beda-beda, tergantung firqah.”
Itu petikan
obrolanku di sosmed dengan teman dari Turki. Bukan untuk membicarakan masalah
perbedaan penentuan Idul Fitri-nya sih. Ingin tahu aja budaya Turki kalo
lebaran kaya apa. Tapi si orang yang gak bisa kusebut bule ataupun Arab itu
keburu off. Sibuk kali bikin kikiping.
He. Atau dia mau takbir keliling? Jam segini di Indonesia berarti disana baru
beres isya.
Karena
penasaran aku berniat googling. Tapi
pas ngintip Yahoo, ternyata dia lagi berbaik hati nunjukin artikel tentang
berbagai budaya perayaan Idul Fitri, Bayram, Eid atau Lebaran itu.
Aku cek
beberapa berita terkait lebaran yang disarankan beberapa sosmed lain. Tentang
sidang isbat, lebaran gaya artis, takbir keliling, tips makan sehat saat
lebaran. Aku lahap semua beritanya tapi diinterupsi bunyi SMS yang sejak tadi
sore tak pernah sepi. SMS permintaan maaf. Aku dengan sabar membukanya satu
persatu lalu membalasnya dengan ‘sama2 J’, sengaja tahun ini aku tak berniat
mengirimkan SMS, cukup membalasnya, ingin meminta maaf dengan cara yang berbeda
aja. Besok, saat hari H.
Lebaran itu
hari yang sederhana sekaligus complicated,
menurutku. Idul Fitri kan hanya akhir dari Ramadhan. Permulaan kita bisa bebas
lagi makan dan minum di siang hari yang ditandai paginya kita melaksanakan
shalat dua rakaat. Yang bikin ribet adalah, mungkin karena hari itu orang di kampung
halaman (kampung halaman gak harus kampung beneran kan? he) berkumpul lebih
banyak dari biasanya. Sehingga orang-orang berlomba menunjukkan dirinya dengan
tampilan yang terbaik.
Baju baru.
Ya, itu dia inti obrolan kita kali ini. Baju baru itu mungkin bagi sebagian
orang menandai semangat baru, hati yang baru atau yang baru-baru lain. Sehingga
rela berpanas-panas, berdesak-desakkan, mengirit uang jajan, menjual benda kesayangan,
mengambil pinjaman, atau bahkan meminjam
tanpa pemberitahuan hanya demi mendapatkan sesetel baju baru.
Entahlah,
yang jelas, tahun ini aku tak bersemangat untuk membeli baju baru. Satu-satunya
yang baru kupakai untuk shalat Ied di lapangan sepak bola dan keliling kampung
adalah kolorku.
Dan aku sama
sekali tak berniat untuk memamerkannya.
:P
Kalau lihat
kelakuan artis (baca: artis alay haus sensasi) pakaian itu bisa menjadi
pendongkrak popularitas. Jadi mungkin ketika ngerasa mulai gak terkenal,
bikinlah pakaian yang menurut mereka aneh tapi bisa diterima di masyarakat dengan
reaksi mulut membulat lalu bilang ‘wow!’ :D, entah ‘wow’ nya itu karena kagum
atau saking speechlessnya melihat
kelakuan mereka yang selalu haus puji puja.
Ya sih, gak
semua artis kaya gitu. Tapi artis yang bekerja atas nama seni tanpa mengesampingkan
norma-norma yang ada itu entah ada dimana.
Dan kembali
ke topik, kelakuan artis yang selalu pamer pakaian baru itu bikin semua orang
yang mau berlebaran itu merasa akan mendapatkan kemaluan, eh rasa malu yang
amat sangat kalau gak beli baju baru. Termasuk saya sih, walaupun ‘banyak’ juga
orang zuhud yang tak terlalu mempedulikan hal-hal semacam itu, lebih fokus di
ibadahnya.
Pantes aja
menurut salah satu artikel di media online disebutkan bahwa Indonesia bisa saja
menjadi kiblat Muslim dunia karena semangat hidup bangsa yang mayoritas Muslim
itu didasari oleh motivasi agama. Makanya dalam kehidupan sehari-hari tak bisa
dipisahkan dari ‘tradisi’ keagamaan yang sudah melekat erat, entah itu
memeriahkan Ramadhan dengan acara-acara religi,
berbondong-bondong membeli pakaian religi¸atau
sekedar berkicau di sosmed tentang kehidupan beragama mereka (menurut salah
satu sumber, kicauan orang Indonesia tentang agama itu lebih besar dibandingkan
kicauan seluruh Negara lain digabungin).
Sebelumnya
perlu saya tegaskan, ini bukan makalah, artikel persuasif atau skripsi, cuman
pengen ngoceh dengan lebih panjang lebar aja (emangnya enak kalo ngoceh
dibatasin?)
Satu hal
lagi yang lucu (kalau sebelumnya ada yang lucu, haha) kita itu kalau beli baju
baru kayanya haraaaaaaaaaam banget kalau baju baru itu dipake bukan pas di hari
lebaran. Beli baju buat lebaran, celana buat lebaran, sarung buat lebaran,
mukena buat lebaran, sepatu, sandal, bahkan beberapa orang juga ada yang beli
daleman khusus buat lebaran (gak koq, ini bukan pengalaman pribadi saya, hehe).
Sama dengan
menyediakan makanan, sama dengan menyediakan tangan dan hati untuk
bermaaf-maafan. Pernah gak entah sengaja ataupun karena emang niat (lho?)
kalian gak tegur sapa dulu sama seseorang nunggu lebaran aja? Gak salaman dulu sama
tetangga yang sering ketemu, sama temen-temen hangout biar nanti aja salaman dan maaf-maafannya pas lebaran aja?
Padahal,
mungkin seharusnya gak kaya gitu ya?
Seharusnya
ya, ya gimana lagi udah tradisinya kaya gitu. Hehe, saya yakin kalian juga tahu
jawabannya. Cuman itu, susah kalau udah tradisi.
Melirik
sebentar ke kolor baruku, he, yang adem kupakai keliling-keliling kampung yang
rumahnya terbuka, membantu peran sarung melindungi sesuatu, heu, bersama teman-teman lain yang juga antusias tiba-tiba
merasa menjadi pejabat sehari (door to
door cuma buat salaman kan kaya pejabat aja tuh kelakuan, hehe) sampe
kembung disuguhi berbagai macam hidangan (gak niat berburu makanan juga sih
tapi kalau ‘dipaksa’ apa boleh buat :D). Kolor baruku itu menjadi saksi bahwa
sekali lagi hari itu manusia-manusia menjadi lebih ramah dari biasanya, merasa
hari itu adalah hari terakhir untuk maaf-maafan. Padahal bukannya hari itu kita
kembali fitri ya, kembali suci, orang suci sudah tak punya dosa lagi dong? Koq
masih minta maaf?
Apa karena
pengen cari sensasi aja disengajain minta maaf pas hari lebaran sekalian minta
maaf sama orang-orang yang jarang ketemu? Atau karena tradisi?
Daripada
pusing sendiri, kuakhiri aja postingan ini dengan beberapa pertanyaan,
mudah-mudahan ada yang sudi dengan segala kerendahan hatinya membantu saya
menjawabnya.
Apakah
salam-salaman itu karena butuh atau tradisi?
Lebaran itu perayaan
kemenangan atau tradisi?
Ramadhan itu
bulan suci karena memang suci atau tradisi?
Aku Islam
karena sadar atau tradisi ya???
:-/
No comments:
Post a Comment