Saturday, August 10, 2013

Kolor Baru? Alhamdulillah!


            “Kapan Iedul Fitri disana?”
            “Apa itu?”
            Hah.
            “Eid?”
            “Itu apa?”
            Astaga.
            “Kalian menyebut akhir Ramadhan dengan sebutan apa?”
            “Oh itu, kami menyebutnya Bayram”
            “Bayram? Umm, kapan disana Bayram?”
            “Sama dengan Negara lain? Emang bisa berbeda ya? Kan pastinya sama aja”
            “I don’t think so
            “Maksudmu di Negaramu bisa jadi berbeda dengan Negara lain?”
            “Ya, bahkan di (dalam) Negaraku sendiri pasti beda-beda, tergantung firqah.”

            Itu petikan obrolanku di sosmed dengan teman dari Turki. Bukan untuk membicarakan masalah perbedaan penentuan Idul Fitri-nya sih. Ingin tahu aja budaya Turki kalo lebaran kaya apa. Tapi si orang yang gak bisa kusebut bule ataupun Arab itu keburu off. Sibuk kali bikin kikiping. He. Atau dia mau takbir keliling? Jam segini di Indonesia berarti disana baru beres isya.

            Karena penasaran aku berniat googling. Tapi pas ngintip Yahoo, ternyata dia lagi berbaik hati nunjukin artikel tentang berbagai budaya perayaan Idul Fitri, Bayram, Eid atau Lebaran itu.
            Aku cek beberapa berita terkait lebaran yang disarankan beberapa sosmed lain. Tentang sidang isbat, lebaran gaya artis, takbir keliling, tips makan sehat saat lebaran. Aku lahap semua beritanya tapi diinterupsi bunyi SMS yang sejak tadi sore tak pernah sepi. SMS permintaan maaf. Aku dengan sabar membukanya satu persatu lalu membalasnya dengan ‘sama2 J’, sengaja tahun ini aku tak berniat mengirimkan SMS, cukup membalasnya, ingin meminta maaf dengan cara yang berbeda aja. Besok, saat hari H.
            Lebaran itu hari yang sederhana sekaligus complicated, menurutku. Idul Fitri kan hanya akhir dari Ramadhan. Permulaan kita bisa bebas lagi makan dan minum di siang hari yang ditandai paginya kita melaksanakan shalat dua rakaat. Yang bikin ribet adalah, mungkin karena hari itu orang di kampung halaman (kampung halaman gak harus kampung beneran kan? he) berkumpul lebih banyak dari biasanya. Sehingga orang-orang berlomba menunjukkan dirinya dengan tampilan yang terbaik.
            Baju baru. Ya, itu dia inti obrolan kita kali ini. Baju baru itu mungkin bagi sebagian orang menandai semangat baru, hati yang baru atau yang baru-baru lain. Sehingga rela berpanas-panas, berdesak-desakkan, mengirit uang jajan, menjual benda kesayangan, mengambil pinjaman, atau bahkan meminjam tanpa pemberitahuan hanya demi mendapatkan sesetel baju baru.
            Entahlah, yang jelas, tahun ini aku tak bersemangat untuk membeli baju baru. Satu-satunya yang baru kupakai untuk shalat Ied di lapangan sepak bola dan keliling kampung adalah kolorku.
            Dan aku sama sekali tak berniat untuk memamerkannya.
            :P
            Kalau lihat kelakuan artis (baca: artis alay haus sensasi) pakaian itu bisa menjadi pendongkrak popularitas. Jadi mungkin ketika ngerasa mulai gak terkenal, bikinlah pakaian yang menurut mereka aneh tapi bisa diterima di masyarakat dengan reaksi mulut membulat lalu bilang ‘wow!’ :D, entah ‘wow’ nya itu karena kagum atau saking speechlessnya melihat kelakuan mereka yang selalu haus puji puja.
            Ya sih, gak semua artis kaya gitu. Tapi artis yang bekerja atas nama seni tanpa mengesampingkan norma-norma yang ada itu entah ada dimana.
            Dan kembali ke topik, kelakuan artis yang selalu pamer pakaian baru itu bikin semua orang yang mau berlebaran itu merasa akan mendapatkan kemaluan, eh rasa malu yang amat sangat kalau gak beli baju baru. Termasuk saya sih, walaupun ‘banyak’ juga orang zuhud yang tak terlalu mempedulikan hal-hal semacam itu, lebih fokus di ibadahnya.
            Pantes aja menurut salah satu artikel di media online disebutkan bahwa Indonesia bisa saja menjadi kiblat Muslim dunia karena semangat hidup bangsa yang mayoritas Muslim itu didasari oleh motivasi agama. Makanya dalam kehidupan sehari-hari tak bisa dipisahkan dari ‘tradisi’ keagamaan yang sudah melekat erat, entah itu memeriahkan Ramadhan dengan acara-acara religi, berbondong-bondong membeli pakaian religi¸atau sekedar berkicau di sosmed tentang kehidupan beragama mereka (menurut salah satu sumber, kicauan orang Indonesia tentang agama itu lebih besar dibandingkan kicauan seluruh Negara lain digabungin).
            Sebelumnya perlu saya tegaskan, ini bukan makalah, artikel persuasif atau skripsi, cuman pengen ngoceh dengan lebih panjang lebar aja (emangnya enak kalo ngoceh dibatasin?)
            Satu hal lagi yang lucu (kalau sebelumnya ada yang lucu, haha) kita itu kalau beli baju baru kayanya haraaaaaaaaaam banget kalau baju baru itu dipake bukan pas di hari lebaran. Beli baju buat lebaran, celana buat lebaran, sarung buat lebaran, mukena buat lebaran, sepatu, sandal, bahkan beberapa orang juga ada yang beli daleman khusus buat lebaran (gak koq, ini bukan pengalaman pribadi saya, hehe).
            Sama dengan menyediakan makanan, sama dengan menyediakan tangan dan hati untuk bermaaf-maafan. Pernah gak entah sengaja ataupun karena emang niat (lho?) kalian gak tegur sapa dulu sama seseorang nunggu lebaran aja? Gak salaman dulu sama tetangga yang sering ketemu, sama temen-temen hangout biar nanti aja salaman dan maaf-maafannya pas lebaran aja?
            Padahal, mungkin seharusnya gak kaya gitu ya?
            Seharusnya ya, ya gimana lagi udah tradisinya kaya gitu. Hehe, saya yakin kalian juga tahu jawabannya. Cuman itu, susah kalau udah tradisi.
            Melirik sebentar ke kolor baruku, he, yang adem kupakai keliling-keliling kampung yang rumahnya terbuka, membantu peran sarung melindungi sesuatu, heu, bersama teman-teman lain yang juga antusias tiba-tiba merasa menjadi pejabat sehari (door to door cuma buat salaman kan kaya pejabat aja tuh kelakuan, hehe) sampe kembung disuguhi berbagai macam hidangan (gak niat berburu makanan juga sih tapi kalau ‘dipaksa’ apa boleh buat :D). Kolor baruku itu menjadi saksi bahwa sekali lagi hari itu manusia-manusia menjadi lebih ramah dari biasanya, merasa hari itu adalah hari terakhir untuk maaf-maafan. Padahal bukannya hari itu kita kembali fitri ya, kembali suci, orang suci sudah tak punya dosa lagi dong? Koq masih minta maaf?
            Apa karena pengen cari sensasi aja disengajain minta maaf pas hari lebaran sekalian minta maaf sama orang-orang yang jarang ketemu? Atau karena tradisi?
            Daripada pusing sendiri, kuakhiri aja postingan ini dengan beberapa pertanyaan, mudah-mudahan ada yang sudi dengan segala kerendahan hatinya membantu saya menjawabnya.
            Apakah salam-salaman itu karena butuh atau tradisi?
            Lebaran itu perayaan kemenangan atau tradisi?
            Ramadhan itu bulan suci karena memang suci atau tradisi?
            Aku Islam karena sadar atau tradisi ya???

            :-/ 


No comments:

Post a Comment