“That’s all the freedom we can hope
for – the freedom to choose our prison. – L.M. Montgomery
Kurang dari seminggu
lagi hari Raya Idul Fitri 1438 H menjelang. Wajah para remaja tangguh itu
diliputi kebingungan. Bukan hal yang terlalu serius sebenarnya jika
dibandingkan pengalaman mereka tahun kemarin yang benar-benar dilanda krisis
menguji jiwa relawan muda mereka, namun hal yang sedang mereka hadapi kali ini tak
bisa dipecahkan begitu saja. Dalam lingkar rapat di atas ubin dingin sebuah
aula gedung yang telah banyak menyokong kegiatan mereka itu, mereka termenung
memikirkan jalan keluar dari permasalahan pelik mengingat hal tersebut adalah
tantangan yang melibatkan tidak sedikit orang.
Sebelumnya
mari kita mundur ke persis satu tahun lalu, saat belasan pelajar SMP dan SMA
yang direkrut oleh sebuah komunitas literasi -yang tentunya sering bersentuhan
dengan permasalahan sosial, itu baru saja selesai ditraining selama beberapa hari untuk sebuah program. Program yang
mungkin agak jarang diiukuti oleh remaja seusia mereka. Mereka hendak
diterjunkan ke kampung pelosok untuk mengabdi selama seminggu, menyebar
semangat mebaca, dan belajar bersama. Hal tersebut terdengar mudah saja jika
jaraknya dekat, tetapi ini ada di ujung pulau di tepi Samudera Hindia. Dengan
medan tempuh yang sulit dijangkau karena kondisi jalan yang rusak parah –yeah, tak perlu sulit membayangkan trayek yang dimaksud
karena sering masuk acara TV khusus program ‘orang-orang terbelakang’, dan
tanpa diberi honor bahkan uang transport sedikitpun. Malahan mereka diawal
harus membayar biaya untuk konsumsi pelatihan dan sudah diwanti-wanti jika
selama proses pengabdian, mereka harus rela untuk iuran jika ada hal-hal di
luar perkiraan.
Untuk
tinggal dan akomodasi sehari-hari, mereka harus saling berbagi saling mengerti
dengan tuan rumah yang bersedia menjadi induk semang selama mereka mengabdi di
kampung tersebut. Sementara untuk program pengabdian, mereka harus rela
kemana-mana jalan kaki untuk mempersuasi warga terutama anak-anak yang mau
mereka ajak belajar bersama dan juga turut serta dalam aktivitas-aktivitas
warga. Tak jarang mereka harus berjalan kaki selama berjam-jam, selain karena
kondisi jalan yang susah dilalui apalagi jika turun hujan, tempat yang mereka
jangkau juga biasanya tak bisa dilalui kendaraan. Semua itu mereka nikmati,
meski dalam rapat evaluasi beberapa hari sekali mereka menyampaikan keluhan
dengan tersenyum, tapi betis yang berkedut dan menegang menjelang tidur tak
pernah bisa mereka bohongi.
Tentu saja
bukan hanya soal betis mengkerut kesulitan mereka itu, dan lupakan soal
kenyamanan tidur dan makanan yang serba enak, ada yang mau menampung dan bisa
ikut buka dan sahur saja mereka sangat bersyukur. Ya, mereka memang sudah siap
dengan segala kondisi tidak menyenangkan yang akan mereka hadapi, karena telah
dapat breafing beberapa kali soal itu
saat pembekalan. Kesulitan mereka adalah bagaimana bisa masuk dan membaur di
tengah-tengah masyarakat yang melihat infrastruktur desa, sangat menakjubkan
jika mereka melek baca. Dan benar saja, saat para relawan mulai sosialisasi
terbukti bahwa di kampung tersebut jangankan ada perpustakaan bersama, bagi
para remaja usia pelajar pun sepertinya buku merupakan benda yang tidak begitu
familiar.
Tapi dengan
segala kondisi itu, semangat para relawan tak jadi surut, karena mereka melihat
peluang dari cara warga menerima mereka. Terlihat sekali bahwa mereka antusias
menerima pendatang, apalagi yang berniat ingin memajukan kampung mereka.
“Pada
dasarnya, masyarakat di sini terbuka terhadap segala kegiatan positif, apalagi
jika terkait pendidikan, karena jika mengandalkan pemerintah ya susah.” Ujar Kepala
Desa Rancapinang, saat para relawan bersilaturrahim ke rumahnya.
Jadi, dengan
niat mengabdikan diri sepenuhnya demi kemajuan pendidikan, apalagi di bulan
Ramadhan dimana pahala akan dilipatgandakan, belasan relawan di desa yang masuk
ke dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon itu mengencangkan ikat pinggang,
menggulung lengan, dan mengucapkan basmallah untuk dibagi ke dalam 3 kelompok
di 3 kampung terpisah dan mulai membaur di masyarakat setempat.
Seminggu
bukan waktu yang lama, tapi juga tidak sebentar. Permasalahan-permasalahan
klasik saat hidup di kampung orang mulai dialami para relawan, seperti
perbedaan budaya yang membuat canggung hingga kesalahpahaman komunikasi baik
internal tim maupun dengan warga yang membuat mereka serba salah.
“Ya,
wajarlah namanya juga mengabdi di kampung orang, yang penting kita tetap kompak
dan fokus pada tujuan.” Ujar Rizwan, salah satu relawan yang ditugaskan di
kampung paling ujung.
Meski sempat
down di hari-hari terakhir, apalagi
mengingat usia mereka yang rata-rata masih pubertas yang sering mengalami naik
turun suasana hati, mereka bisa tersenyum bangga saat melihat tingginya minat
anak-anak membaca. Bahkan beberapa anak sampai dengan antusias mengantre untuk
dapat giliran baca buku karena buku yang dibawa relawan tidak begitu banyak. Para
orangtua juga antusias sekali menyaksikan kegiatan-kegiatan belajar hingga tak
jarang ikut menonton seperti halnya menonton pertunjukkan seni. Hingga saat
masa tugas mereka berakhir, mereka terharu harus meninggalkan desa yang
meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi mereka.
Dalam
perjalanan pulang, meski harus berjalan kaki berjam-jam dengan cuaca panas
sambil berpuasa itu, mereka tetap mempertahankan senyuman. Karena, selain
sepanjang perjalanan mereka disuguhi banyak pemandangan unik dan menarik,
hingga tak jarang berhenti untuk berfoto di pantai maupun di bukit, mereka juga
tersenyum haru karena aktivitas mereka telah mengundang relawan dari komunitas
lain untuk datang ke desa tersebut. Mudah-mudahan itu adalah awal dari
bangkitnya desa tertinggal dengan sejuta potensi tersebut.
Tetapi tak
lama senyum mereka harus pupus sejenak, diganti tawa miris saat mobil yang
menjemput mereka beberapa kilo dari desa tempat mereka mengabdi -karena tidak
bisa datang langsung ke sana akibat kondisi jalan yang rusak parah, tiba dan
mulai mengangkut mereka. Mobil tersebut awalnya berjalan normal, tapi tiba-tiba
tersendat-sendat lalu mogok. Dengan mendumel sambil tertawa-tawa mereka turun
lalu mulai mendorong mobil, lupa sudah pada lelah jika dilakukan dengan senang hati
secara bersama-sama, meski dalam hati khawatir jangan-jangan mobil mogok karena
kehabisan bensin seperti saat mengantar mereka seminggu lalu, yang membuat
perjalanan mereka terhenti hampir 1 jam untuk mencari bensin.
***
Kembali ke
aula tempat para pelajar tersebut rapat. Jadi, rapat tersebut dihadiri oleh
para alumni program Ramadhan tahun kemarin. Mereka kembali ditantang oleh
fasilitator dari komunitas untuk membuat acara tindak lanjut dari kegiatan
tahun kemarin, sebagai syarat mendapatkan sertifikat pengabdian. Dengan
antusias mereka mnegusulkan agar kegiatan dilaksanakan di salah satu RUTAN yang
memang menjadi salah satu lokasi binaan komunitas tersebut yang tak jauh-jauh
dari buku. Alasan mereka sederhana tapi mengena. Mengabdi di kampung pelosok membuat
mereka tersadar betapa terpenjaranya warga kampung tersebut karena untuk
mendapatkan akses pendidikan layak saja -terutama buku begitu susah. Mereka
berkesimpulan, buku adalah kunci dari penjara pikiran manusia. Jadi, sangat
tepat sekali jika mereka mengadakan acara tindak lanjut di penjara dengan
diskusi buku yang mengusung tema “Prison,
Book, and I”, karena, seperti kutipan bung Hatta; “Aku rela dipenjara asalkan bersama
buku, karena dengan buku aku bebas”, mereka ingin membebaskan para warga binaan dari
keterkekangan pikiran dengan diskusi dan menyuplai buku ke Rumah Tahanan tempat
mereka ditahan.
Konsep acara
tersebut disambut antusias oleh para relawan alumni program pengabdian dan
realwan lain di komunitas juga oleh pihak RUTAN sendiri, tetapi karena sebelumnya
mereka harus berkutat dengan kesibukan sekolah masing-masing, penggarapan acara
tersendat-sendat. tiga hari menjelang acara mereka belum mendapatkan dana sama
sekali.
Tiga hari
kemudian, mereka benar-benar berada di aula RUTAN dengan puluhan warga binaan
dihadirkan dan para pembina RUTAN yang menyambut dengan antusias. Dan secara
tak terduga, tak hanya relawan program pengabdian tahun kemarin yang hadir di
acara tersebut melainkan juga bergabung beberapa mahasiswa, pelajar, anggota
komunitas seni kampus, penghuni panti asuhan dan Kepala RUTAN sendiri yang
tadinya sudah pesimis bisa hadir dikarenakan kesibukannya. Buku yang mereka
kumpulkan untuk disumbangkan pun terbilang cukup dengan waktu yang begitu mendadak.
Kebutuhan akomodasi pun baru di injury
time terpenuhi dari donasi sana-sini setelah berupaya semaksimal mungkin.
Sore itu, di
antara puisi yang dibacakan oleh salah satu Co-Founder Komunitas -Hardianti
yang merupakan seorang bidan, puisi yang diciptakan sangat mendadak oleh Sonhu
Sun, founder komunitas 5 menit sebelum dibacakan, diiringi petikan gitar oleh
mahasiswa anggota komunitas seni, imajinasi para relawan dan mungkin sebagian
warga binaan melambung. Bahwa mereka merasakan makna berlebaran di sini, saat
mereka merasa bebas dan membebaskan, saat semua niat terasa begitu dimudahkan
selama demi memanusiakan manusia. Kegembiraan merasakan kesamaan nasib, bahwa
orang yang benar-benar terpenjara bukanlah mereka yang terpenjara secara fisik,
melainkan menutup diri dari dunia dengan memilih untuk menjadi tak terdidik karena
tak mau mulai membaca.
Terbang
Kau ikat aku,
aku teriak,
Kau cekik aku,
aku melihat,
Kau butakan aku,
aku berpikir,
Karena aku pernah membaca
Kau hina aku,
aku diam,
Kau caci aku,
aku tak gentar,
Kau bunuh aku,
aku hidup selamanya,
Karena aku membaca.
Di antara
letupan kembang api di alun-alun kota yang membuat mereka merasa bagaikan di
malam takbiran -meski sebenarnya takbiran masih beberapa hari lagi, mereka
menggumamkan tagline komunitas Smart Student Indonesia;
I can change the world with word.
Artikel ini diikutsertakan dalam Giveaway 1 Tahun Dunia Gairah (www.pritahw.com)
Ow ini toh awal mula SSI,.jd baru bgt ya Sonhu? Kalian keren! Sukses buat program2 inspiratifnya,.thanks ya udh ikutan. Gudlak!
ReplyDelete